Lakukan 4 Hal Ini untuk Menumbuhkembangkan Sikap Sportif pada Anak!
Hidup ini ibarat arena olahraga. Sarat aturan penuh persaingan. Ada yang kalah ada yang menang. Untuk itu, dalam menjalaninya diperlukan sikap sportif dan kemampuan berkompetisi secara adil.
Prinsip ini perlu ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Berapa pun usianya, ia akan mulai dari lingkungan terdekat seperti di sekitar rumah atau sekolah.
Di sana banyak hal baru yang mungkin tidak mereka sukai. Untuk menyikapinya diperlukan kecerdasan sosial.
Hal pertama yang menjadi prioritas adalah menanamkan kepada anak yang tidak berperilaku membeda-bedakan dirinya dengan orang lain. Apakah dia berasal dari keluarga pejabat, orang kaya, orang miskin, berwajah cantik atau jelek. Satu individu tidak boleh merasa hebat dari individu lainnya.
Dari pandangan pandangan awal terciptanya aturan-aturan yang berlaku dalam semua lapisan masyarakat. Setelah menerima sesuatu dari orang lain harus terima kasih. Jika terlanjur doa salah, jangan merasa gengsi untuk minta maaf, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya menanamkan budaya antre.
Iklim ini harus diawali dari rumah tangga. Mulailah dari hal-hal kecil
1. Jangan Memaksakan Kehendak kepada Anak
Pengalaman saya mengasuh anak-anak. Karena saya suka warna putih, setiap si bungsu (6) ke musola, saya minta dia pakai baju koko warna putih. Tetapi dia selalu menolak.
Suatu hari, berkat bujuk rayu si kakak (10) dan ditambah puji-pujian, "Dedek ganteng, Dedek gaya," koko tersebut dia kenakannya juga.
Belum 10 menit, dia melapor bahwa bajunya sobek. Masyaallah. Rupanya baju tersebut sudah dia belah pakai gunting. Mulai pangkal ketiak memanjang hingga ke bawah nyaris putus.
Peristiwa kedua terulang lagi. Seminggu sebelum ujian akhir SMP, dia minta dibelikan celana pramuka. Saya bilang, "Pakai aja yang lama. Kan masih bagus. Sekolah cuman dua minggu lagi."
Dia tidak menjawab. Besoknya, saat mencuci pakaian saya temui celana tersebut sudah terpisah jadi dua bagian.
Ya ampun. Saya telah melakukan kekeliruan besar. Memaksakan kehendak kepada anak dan tidak menghargai pendapat. Bagus menurut saya belum tentu bagus menurut dia.
2. Tanamkan Rasa Tanggung Jawab Sedini Mungkin
Seperti orang, anak-anak juga sering melakukan kesalahan. Saat orang tua menanamkan rasa tanggung jawab. Misalnya suatu saat dia mencoret dinding pakai krayon, padahal orangtuanya telah siapkan buku gambar serta whiteboard dan juga spidol warna.
Saat itu, orang tua dapat melibatkan anak untuk mebersihkannya. Anak akan belajar bahwa dia juga ikut bertanggung jawab atas kesalahan yang salah. Ketika itu, orangtua menanamkan pengertian mengapa dia harus memperhatikan kebiasaan mencorat-coret tidak pada tempatnya.
3. Biasakan Anak Mengikuti Berbagai Lomba di Sekolah
Saat memasuki lingkungan sekolah, anak-anak akan dapat bersaing dengan lebih banyak. Baik dalam kegiatan pelajaran maupun bidang lomba.
Dengan mengikutsertaka dia ke berbagai perlombaan, orang tua berkesempatan menanamkan pengertian bahwa setiap kompetisi ada yang menang dan ada pula yang kalah. Andai sang anak keluar sebagai pemenang, dia tidak boleh sombong.
Jika jangan kalah berkecil hati. Dia harus berusaha mengejar ketertinggalannya. Siapa yang ingin menang, dia wajib bekerja keras dengan belajar tak kenal lelah.
Mengikutsertakan anak dalam berbagai lomba adalah sarana yang bagus untuk menumbuh kembangkan jiwa sportifitas. Tanamkan pengertian, kompetisi adalah hal yang biasa. Menang segala-galanya. Setiap anak harus berlomba secara sehat. Tidak dibenarkan saling jegal. Apalagi bermain curang.
Dalam bertanding ada aturan. Dalam hidup pun ada aturan yang harus ditaati. Saat anak belajar mencari keberadaan lawan.
4. Tanamkan Nilai-nilai Kebaikan Mulai dari Rumah Tangga
Pendidikan tanggung jawab orang tua, yang sejatinya berawal dari rumah tangga. Di sekolah hanya pelengkap saja. Di rumah, penanaman nilai-nilai moral, agama, dan budi pekerti lebih efektif.
Tak heran, seorang guru yang arif, dengan peakuan kelakuan anak-anak di sekolah, dia telah memperoleh gambaran minimal 40 persen, bagaimana pendidikan pengetahuan sosial yang diperoleh peserta didiknya dalam keluarga.
Zaman sekarang, sangat mudah sosok yang telah kehilangan jiwa sportifitas. Lihatlah perseteruan para politisi kita dalam merebut kekuasaan, kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan segala cara.
Ibarat iblis, bukan lagi makhluk halus yang tak dapat dilihat dengan mata. Tetapi telah menjelma seperti jin kasar. Mereka adalah pribadi yang kecerdasan sosial.
Kecurangan merupakan hal yang lumrah. Jual beli ijazah, suap, korupsi dan hoaks seakan dihalalkan. Tentu kita tidak berhubungan dengan anak-anak kita yang tumbuh menjadi generasi yang berbangga dengan segala bentuk kecurangan.
Demikian sedikit baru untuk memanusiakan anak, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang sportif dan cerdas dalam bersosialisasi. Semoga bermanfaat.
****
Jambi, Senin, 19 Oktober 2020
Sumber Gambar: Pixabay
Setuju, Nek. Setelah mengalami sendiri menjadi orangtua, saya baru mengerti makna Keluarga adalah Sekolah Pertama anak. Dan ternyata berat, ya, Nek... 😶
BalasHapusSelamat sore, cucunda. Tantangan menjadi orang tua itu memang berat. Terlebih jarak kelahiran terlalu dekat. Justru itulah asyiknya kehidupan ini. Tanpa anak hidup aksn terasa hambar. Terima kasih telah mampir, salam untuk keluarga di sana.
Hapus