Waspadai 6 Penyebab Konflik Ibu Mertua dan Menantu!
Sebelum punya menantu, hal yang menakutkan saya adalah menyandang label ibu mertua cerewet.
Ketakutan ini muncul karena sering menyaksikan konflik ibu mertua dan menantu dalam beberapa rumah tangga di lingkungan sekitar.
Suatu ketika saya ditanyai seorang ibu mertua, “Bu, bagaimana kalau saya bilang terus terang kepadanya agar dia menceraikan anak saya, bla ..., bla ....”Spontan saya berlagak seperti ustazah. “Saya dan Ibu tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga mereka. Dalam pernikahan, yang berhak mengajukan perceraian adalah suami atau istri. ” balas saya. “Urusannya pun sangat rumit. Belum lagi pertanggung jawaban terhadap Tuhan. Sebab, memutuskan hubungan pernikahan anak dan menantu, hukumnya haram. Kok Ibu begitu begitu? He mereka pasangan isteri adem ayem saja. ”
Ilustrasi di atas meggambarkan fenomena dalam rumah tangga yang sering terjadi di tengah masyarakat kita.
Padahal, sebelum anaknya menikah, kedua pihak baik-baik saja. Bahkan sebagian orang tua justru berbangga dengan calon menantunya. Penyayang, kaya, cantik / ganteng, saleh / salehah, dan nasabnya baik.
Singkat kata, segala kreteria menantu idaman melekat padanya. Terlebih hubungan mereka bangun atas dasar sama-sama cinta, mendapat restu pula dari keluarga kedua pihak.
Namun, belum lama mereka berumah tangga, gesekan-gesekan kecil antara mertua dan menantu mulai muncul. Selanjutnya berkembang menjadi badai konflik yang sulit diubah.
Yang menarik, pertikaian lebih banyak melibatkan ibu mertua dan menantu perempuan yang melayani mertua dan menantu laki-laki.
Menurut psikolog Terri Apter dari Cambridge University , tiga dari empat pasangan menikah menunjukkan konflik signifikan dengan mertuanya. Hubungan tak enak ini tentu disebabkan oleh banyak hal.
Selanjutnya dalam penelitian dan bukunya, Terri mengungkapkan ada beberapa alasan umum yang menjadi masalah antara menantu perempuan dan mertua. Di antaranya, adanya keangkuhan, paksaan dan tidak menghormati batasan masing-masing.
Terinspirasi dari ungkapan Terri tersebut, saya coba menganalisa hasil pengamatan ecek-ecek terhadap 6 pasangan muda di tempat saya berdomisili. Empat darinya ibu mertua dan menantu perempuannya bermasalah.
Berdasarkan itu pula, alasan-alasan umum yang dikemukan Terri tersebut dapat dijabarkan secara khusus.
1. Adanya Persaingan Antara Ibu Mertua dan Menantu
Sebagian orang berpendapat, konflik antara ibu mertua dan menantu perempuan yang berawal dari persaingan untuk mendapatkan perhatian.
Setelah anaknya menikah, ibu mertua belum siap menerima bahwa cinta kasih anak lelakinya sudah terbagi, antara dia (ibu) dan menantu perempuanya.
Jujur, pengalaman saya sebagai mertua, setelah putra tunggal saya menikah perasaan seperti itu memang benar adanya. Terlebih saat ngumpul bersama dia dan istrinya. Kadang-kadang saya sedih, karena dia lebih memperhatikan memperhatikan saya.
Untung kondisi tersebut berlangsung dalam masa transisi saja. Saya cepat sadar, bahwa saya sedang berpikir gila. “Aduh, apa hak saya mencemburui anak mencintai istrinya. Percuma saya ketakutan akan disematkan label ibu mertua cerewet. ” Saya kembali menjadi waras.
Anehnya, kegalauan serupa tidak hadir ketika anak perempuan saya menikah. Justru yang saya rasakan suka cita tak terhingga menyaksikan putri saya berbahagia bersama suaminya.
Tak terbayang bagaimana perasaan ibu mertua yang menggantungkan suap pada anak lelakinya. Terlebih semenjak sang anak menikah, porsi kebutuhan lahiriah si Emak telah berkurang. Lama-lama tidak terpenuhi sama sekali.
Tak heran sang mertua menganggap kehadiran menantu perempuan dalam keluarganya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Malah, menantu tak rela suaminya berbagi kasih sayang kepada ibunya. Timbul rasa tak enak, cemburu, sedih dan merasa dirinya dinomor duakan.
Maklum, fitrah seorang istri, ingin menjadi pemilik tunggal atas suaminya. Dikala sumpah dia menuding ibu mertuanya sebagai perusak rumah tangga dia. Walaupun tak terucap dengan kata-kata.
2 . Perbedaan Cultur
Perbedaan cultur tak kalah andil kejadian konflik antara ibu mertua dan menantu perempuan. Mertua yang biasa hidup dalam tradisi Yang sangat menghamba pada adat istiadat, akan menerima perlakuan menantu tukang perintah, yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan B.
“Bu, ambilkan minum untuk saya! Bu, angkat pakaian itu ke jemuran! ” Kalau sudah punya anak, “Bu, tolong cebokin si Abang.” Dan beragam titah lainnya membuat ibu mertua diperlakukan seperti babu.
Sang menantu akan menganggap masalah tersebut biasa-biasa saja. Karena dia merasa Emak mertuanya adalah ibunya sendiri.
Namun, bagi mertua yang kebetulan berasal dari suku tertentu dan sangat kental dengan adat tradisi leluhurnya, tidak siap menerima perlakuan seperti itu. Hatinya terluka jika diperintah kayak anak kecil.
Apapun alasannya. Mertua tidak sama dengan ibu kandung yang telah terbiasa dengan gaya kesehariannya.di sisi lain, terhadap mertua tentu ada batasan-batasan yang perlu dipertimbangkan.
Begitu juga sebaliknya. Ada ibu mertua yang tanpa basa-basi kentut di hadapan suami anaknya. Menantu pun melakukan hal serupa. Coba kalau saya sebagai pihak menantu atau mertua, dalam hati saya kasih stempel bahwa mereka adalah mertua dan menantu kurang ajar.
3. Mertua Hobi Ngatur
“Kemarin mertuaku datang bawa guci. ‘Tarok di pojok sini ya,’ katanya. Ditolak, takut dia tersinggung. Aku tak suka guci tanah liat kampungan begitu teronggok di ruang tamuku. Mengganggu pemandangan,” keluh Emi (27) bukan nama sebenarnya.
Lain cerita Emi beda pula kisah teman sebayanya Fenny. Ibu mertuanya suka mencampuri urusan dompet anak menantu.
Punya duit dilarang belanja, tak boleh beli pakaian. Ditabung biar bisa bikin rumah. “Kapan mau beli sesuatu, aku harus sembunyi-sembunyi. Jika ketahuan sama mertuaku habislah aku diomelin,” kata Fenny di sela asyiknya bergibah.
Sepintas terlihat kedua mertua itu berniat baik terhadap anak menantunya. Tetapi sikap mereka yang doyan ngatur dan mencampuri urusan rumah tangga anak terlalu dalam, membuat menantunya tidak nyaman. Bukankah setelah pasangan suami istri itu menikah, ekspektasinya ingin mengatur rumah tangganya sendiri.
Yang berbahaya, ketika suami istri bertengkar, ibu mertua ikut campur memenangkan anaknya.
Minta uang sekadar kebutuhan itu wajar-wajar saja. Tetapi kalau terus-terusan tanpa peruntukan yang jelas, ini yang menjadi problem.
Yang membuat menantu semakin tertekan, ketika dikasih duit puja-pujinya setinggi langit, waktu dompet anaknya kosong, ngomelnya seribu caci. Selidik punya selidik ternyata uang yang dikasih dia pakai untuk kebutuhan anak perempuannya.
5. Mertua ngegas, Menantu tak Bisa Ngerem
Karena kebanyakan ngatur, tak tertutup kemungkinan ibu mertua mengeluarkan kata yang menyinggung. Sekali ibu mertua nyelekit, menantu nyosor sepuluh kali. Puncaknya, mertua ngegas menantu tak bisa ngerem.
Masuk kamar, ambil handphone, tulis status di facebook. Semakin banyak netizen menanggapi, kian merasa dirinya paling benar. Padahal objek pergunjingannya tak mengerti apa itu facebook.
Menantu berghibah di medsos, ibu mertua bergosip ria di warung lontong tetangga. Temanya tak bergeser dari “Seribu Satu Kejelekan Menantu”. Efeknya, suasana rumah tangga diracuni oleh kebencian.
6. Terlalu Sering Bertemu
Ibu muda bikin kerupuk jengkol di rumah sendiri. Foto NURSINI RAIS
Kita patut berbangga dengan keanekaragaman budaya bangsa ini. Suatu daerah punya tradisi, setelah menikah suami ikut istri pulang ke rumah mertuanya. Sebagian lainnya, suami yang memboyong pasangannya ke kediaman ayah bundanya.
Kedua kultur tersebut bagus. Asal ada kesekapakatan, dan biduk rumah tangga tetap berlayar mencapai tujuan. Dan yang paling penting, keharmonisan hubungan antar anggota keluarga tetap terjaga.
Namun, kemerdekaan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah ketika suami istri leluasa mengatur rumah tangganya sendiri tanpa adanya ketergantungan dan campur tangan pihak ke tiga.
Kebebasan tersebut hanya bisa diperoleh apabila pasangan tidak satu atap dengan mertua dan tinggal di alamat yang berbeda. Minimal jaraknya bisa dijangkau dengan naik kendaraan. Sehingga apapun tingkah polah menantu dan mertua tidak membebani perasaan semua pihak.
Dikala rindu datang mendera, mertua dan anak menantu bisa saling kunjung. Dengan demikian itensitas pertemuan tidak terlalu tinggi. Peluang untuk berdebat pun sangat kecil. Pribahasa orang tua-tua kampung, “Jauh bau bunga, dekat bau taik.”
Makanya, sebelum menikah calon suami / istri harus berusaha mencoba tempat tinggal sendiri. Walau hanya menyewa sepetak gubuk .
Kita semua tidak menginginkan konflik apapun dalam sebuah pernikahan. Tetapi memaksakan kondisi seperti yang kita inginkan juga nonsen. Karena mertua dan menantu sama-sama manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Tinggal kearifan masing-masing individu yang menyikapinya. Bangun komunikasi yang baik, selesaikan masalah dengan kepala dingin.
Demikian 6 penyebab memburuknya hubungan antara mertua dan menantu peremuan yang perlu diwaspadai. Khususnya bagi jmblowan dan jomblowati yang berencana akan menikah.
Oh ya, terakhir. Sebagaimana saya ungkapkan sebelumnya, ulasan ini ditulis berdasakan fakta di desa tempat tinggal saya. Mungkin suasananya berbeda dengan apa yang ada di sekitar Anda. Semoga bermanfaat.
****
Posting Komentar untuk "Waspadai 6 Penyebab Konflik Ibu Mertua dan Menantu! "