Si Mujur Bernasib Malang
Dari kamar, sayup terdengar suara tukang es. “Eees …! Mambo, eees…! Pokat, durian, mangga, eees …!” Semakin dekat, suaranya bertambah lantang. Di benakku segera terpampang sosok Mujur.
Ririn berlari masuk kamar kami. Terus menarik-narik baju Ni Lusi. “Yuk Lusi! Beliin es!” rengeknya.
Gadis kecil itu berlari ke halaman depan.
Sambil merengut Ni Lusi membututinya dari belakang. “Pusing aku kelakuan anak si Minah ni. Mentang-mentang kita numpang di rumah Emaknya.”
Aku tidak menggubris. Hatiku berbisik, “Rasain lo. Manjakan lagi dia dengan uang banyak.”
Sesaat kemudian, Ni Lusi berdiri lagi di pintu kamar. “Sempat pula kau pacaran, ya, La!” Dia tertawa terpingkal-pingkal, terus menghenyakkan pantatnya di pinggir dipan. “Mujur bilang, tadi dia ketemu kau. Nampaknya hubungan kalian berlanjut ya?” Lagi-lagi Ni lusi terbahak.
Aku ikut tertawa, meski sebenarnya perih di dada. “Cuman ketemu di depan pabrik es. Dia nanya Ni Lusi. Kubilang Uni sakit. Dia juga nanya apakah kita masih tinggal di tempat lama atau tidak. Cuman itu,” jelasku.
“Kalaupun dia kemari hari ini, tak ada hubungannya denganku. Jika Uni menduga kami pacaran, itu sangkaan belaka.”
Alih-alih berpikir, Ni Lusi malah makin mengejek. “Pantasan dia jualan di sini. Karena ada yang mau dia tengok. Betul, kan?” Dia tertawa lagi.
Akhir-akhir ini aku sering kesal karena ulah Ni Lusi. Dia acap kali mengejekku berpacaran dengan Mujur. Apakah dirinya mengira Mujur layak ditertawakan karena profesinya sebagai tukang es mambo?
Malas berdebat soal Mujur, aku pergi ke belakang, masuk dapur untuk memasak. Hatiku berbincang sendiri, pemuda itu tak pantas diremehkan. Dia sedang berjuang menghidupi dirinya dan memenuhi biaya kuliah. Aku salut padanya.
Begitu juga diriku. Meskipun selama ini Ni Lusi sering membantu aku, memberikan aku pinjaman uang, bukan berarti dia leluasa menginjak-injak harga diriku.
Belum seperempat jam aku di dapur, Ni Lusi menyusul. “Maaf, cuman bercanda. Jangan marah ya, La! Mana tau kalian benar-benar berjodoh.”
“Terserah penilaian Uni. Kalau gadis sekelas aku, paling-paling yang nyari ya, tukang es.” Aku meradang bercampur sedih. Diriku memang tidak sempurna, tapi amat sedih bila dihina.
Ingin rasanya kutunjukan pada Ni Lusi bahwa aku sedang jengkel. Tapi, untuk apa pamer kemarahan, sementara orang lain pamer kemesraan, pamer kebahagiaan dan pamer kepintaran.
Lagi pula jika kulawan dengan kemarahan, bukan tidak mungkin masalah ini akan bergaung ke telinga Cik Minah si nyonya rumah. Tentu dia ikut-ikutan menyepele aku.
Aku heran. Selama tinggal di asrama ini, keganjilan Ni Lusi kian bertambah. Sering aku ‘makan hati’ karena sikapnya.
***
Perang dingin antara aku dan Ni Lusi berlangsung hingga sore. Dari tadi sudah ada tanda-tanda dia berusaha membujuk, namun aku selalu menghindar.
Antara ashar dan Maghrib, aku rebahan di tempat tidur. Ni Lusi duduk di ujung kepalaku. Pelan-pelan dia berujar, “La, omongan tadi jangan diambil hati ya. Saya cuman bercanda!”
Aku tak menyahut.
“Sudah tidur?”
Aku tetap diam.
“Laela ...!”
“Terserah penilaianmu, Uni.” Rungutku agak emosi. “Gadis sepertiku, memang wajar untuk mencintai dan dicintai tukang es mambo.”
“Jangan marah, La!”
“Aku tidak marah. Lagi pula, apa yang salah pada Mujur?”
“Kau membela dia?” tudingnya, terus memalingkan muka. Bahunya bergerak naik-turun, napasnya terdengar berat seperti menahan tawa.
“Bukan membela. Mengecilkan orang lain adalah cara licik menyombongkan diri. Lagi pula tidak etis kita merendahkan seseorang, yang bersangkutan tidur enak makan kenyang, pikirannya senang hatinya riang.” Aku menjawab dengan suara diberat-beratkan pula.
Saya tidak berniat merendahkan dia, La. Sudahku bilang padamu, ini hanya guyonan. Kau pun seharusnya tak perlu gondokan karena candaan begitu.” Ni Lusi mulai serius.
“Memangnya ada apa dengan Mujur? Sehingga kau merasa tak enak hati bila dianggap pacarnya. Mujur itu orang hebat. Pekerja keras dan mandiri. Meskipun dia anak orang berduit, dia tak mau ngandalkan harta orangtua. Sekolahnya cari biaya sendiri. Padahal ayahnya saudagar sukses.”
Suhu kedongkolanku berangsur membumi. Aku mulai tertarik dengan cerita baru Ni Lusi. Banyolan Ni Lusi yang berlebihan tadi luruh seketika. Aku meresponnya ke tingkat tinggi. Pura-pura serius meski serius benaran namun masih agak jual-jual mahal.
“Mujur itu anak ajaib.” lanjutnya.
“Hah? Apanya yang ajaib?”
“Dia anak pernikahan ayahnya dengan isteri muda. Semenjak dia lahir, bapak Mujur itu tak pernah pulang ke ibu kandungnya. Mereka menikah diam-diam tanpa sepengetahuan isteri pertamanya.”
Tanpa diminta Ni Lusi melanjutkan ceritanya. “Suatu sore, anggota keluarganya ngumpul bersama. Ayahanda Mujur lagi mesra-mesraan menimang putri bungsunya yang masih bayi.
“Di luar dugaan, seorang perempuan muda nyerobot masuk. Kemudian wanita itu menyerahkan sebuah keranjang tentengan ke pangkuan ayahanda Mujur. Tanpa bicara sepatah kata pun, dia pergi.
“Setelah dibuka, ternyata keranjang tersebut berisi bayi laki-laki. Dialah Mujur yang kita ceritakan sekarang.”
“Terus?”
“Tak ada protes tiada sanggahan dari siapa-siapa. Isteri pertamanya pun menerima dengan hati terbuka. Saat itu Mujur belum genap satu bulan. Lebih tua dia enam hari ketimbang bayi bungsu isteri pertamanya.” Ni Lusi berhenti sejenak.
“Setelah itu?” Keingintahuanku makin tak terkendali.
“Seisi rumah ternganga-nganga. Sang suami diam tafakur, menatap Mujur.”
“Isteri ke duanya orang mana?”
“Ndak tau. Ini cerita orang tua dahulu. Kita-kita ini mungkin belum lahir, atau meskipun sudah lahir, paling seumuran Mujur.”
“Terus, isteri pertamanya bilang apa?”
“Dia penyabar. Dalam hatinya mungkin menolak, tapi tak sampai ke luar. Yang tersiar cuman baik-baiknya aja. ‘Ndak apa-apa Uda. Ini rezeki halal. Kita tak punya anak laki-laki. Kini anak kita jadi tujuh,’ katanya pada sang suami. Ibu tirinya itu juga yang memberikan dia nama ‘Mujur’. Karena dia menganggap kehadiran bayi tersebut merupakan suatu kemujuran.”
“Masyaallah! Sungguh, dia ‘wanita berhati emas’,” timpalku. “Mungkin dialah perempuan calon penghuni syorga di Yaumil Qiyamah nanti.”
“Mulai hari itu Mujur minum asi, satu susuan dengan si bungsu. Komentar pun bertebaran ke seluruh kampung. Ada yang memuji tidak sedikit pula yang mencaci, ‘Perempuan bodoh, bikin anak dengan orang lain, awak pulak (kita pula) yang memikul beban’. Isteri ayahnya itu tak peduli ocehan orang.”
“Sampai kini, Mujur menganggap, isteri ayahnya itu ibu kandungnya.”
“Kalau Emaknya sayang, kenapa dia cari makan dan biaya sekolah sendiri.”
“Itu yang menimbulkan tanda tanya. Ternyata nasib dia tak semujur namanya.” Ni Lusi ikut berbaring, lantas menutup kakinya dengan selimut.
“Kata orang-orang, ayahnya sendiri memperlakukan dia kurang adil. Sering dimarahi, kebutuhannya kurang diperhatikan, minta dikirimi uang sekolah tak dikasih.”
“Kasian ya! Pantasnya dia dijuluki si Mujur Bernasib Malang. Semoga dia berhasil, biar bisa membalas budi ayahnya. Orang ter-dzolimi sering sukses.”
“Eh! Kau dah shalat Maghrib apa belum?” tanya Ni Lusi.
“Lagi cuti.”
“Jangan pula gara-gara menggosip Mujur kau tinggalkan shalat. Biarlah saya sendiri, yang tidak shalat,” Imbuh Ni Lusi.
Baca juga: Dongeng Ma Liang dan Kuas Sakti
****
Ditulias oleh
Hj. Nursini Rais
baca judulnya jadi ingat cerita pak pandir,..he-he,...bagus nih cerpennya mba nur, asik
BalasHapusBicara Pak Pandir jadi ingat pula dongeng nenek-nenek kampung era 50-an. Terima kasih telah mengapresiasi, Mas Kuanyu.
HapusSisipan novel yang menarik. Doa orang teraniaya memang makbul..
BalasHapusAmin, Mbak NA. Terima kasih telah berpartisipasi. Doa sehat untuk keluarga di sana.
HapusSaya kira tadi awalnya ini adalah kutipan dari Novel Rindu, karya Tere Liye.
BalasHapusTernyata Rindu di Ujung Mimpi. Novel yg beda rupanya yaa bund 😀😅
Beda banget, ananda Dodo. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat berhari minggu.
HapusLha, kalo tukang es nya adalah seorang kaya yang menyamar, pasti asyik kan Nek? Coba aku aj jd tukang es. Eh
BalasHapusKaboooor
Ow ... Kalau Ozy jadi tukang es pasti esnya laris manis. He he ... Terima kasih telah hadir. Selamat istirahat.
HapusKeren banget sih ini buk,
BalasHapusTerima kasih, Mas Hilmi. Terima kasih telah mengapresiasi, maaf telat merespon.
Hapus