Ini Kisah Masa Kecilku, Mana Kisahmu?
Apabila teringat pengalaman masa kecil, apa yang saya nikmati sekarang sungguh di luar dugaan. Meskipun jauh dari kata kaya, saya telah mampu mengubah keadaan lebih baik daripada orang tua zaman dahulu.
Bukan karena emak dan bapak tidak mau berusaha. Keadaanlah yang membuat ekenomi kami sulit. Orang-orang sekampung juga begitu. Apabila pagi sudah tiba, kami saling memperhatikan rumah tetangga. Hanya dapur orang-orang tertentu saja yang ada asap mengepul.
Puncaknya, sebelum dan setelah G 30 S PKI. Ada uang, beras susah dicari, karena tak ada di pasaran. Sering kami makan bubur, atau nasi ditanak bercampur jagung atau pisang mentah. Banyak anak-anak meninggal karena kurang gizi. Kalau sakit masyarakat hanya berobat ke dukun.
Hijrah ke Kampung Bapak
Tak tahan dengan kondisi yang ada, Bapak memboyong kami pindah ke kampung beliau di Tapan. Dua puluh lima kilometer dari negeri kami Inderapura. Tapi masih dalam kecamatan yang sama.
Di sana emak dan bapak mengawali kehidupan dari nol. Tinggal di rumah kosong tanpa menyewa. Ditinggal mati oleh empunya.
Bapak bekerja sebagai penggores karet. Ketika cuaca panas penghasilannya lumayan. Saat hujan tidak bersahabat, tungku dingin abu pun basi, perut kami kemasukan angin. Cacing di perut melonjak marah, gigi dan lidah menagih jatah. Ngutang ke induk semang (toke) adalah satu-satunya jalan agar asap dapur bisa mengepul.
Di sana bapak dan emak ikut ke sawah. Sistemnya sewa pasca bayar. Untuk memudahkan penggarapan, bapak meminjam tenaga kerbau milik orangtuanya.
Ketika emak dan bapak pergi ke sawah, tugas saya menjaga 3 adikku. Sebelum pergi, emak mencecar telinga saya dengan aneka aturan. Tak boleh main jauh-jauh, jangan ini, jangan itu.
Tidur Berselimut Marekan dan Kuali Aneka Fungsi
Dua bulan pertama kami di rantau, kesengsaraan mengeroyok tak kenal ampun.
Tidur berselimut kain marekan. Yaitu, kain berwarna kuning jahe seperti karung terigu yang lazim dipakai untuk basahan mandi di sungai. Tikar tua sebagai alas sekaligus kasur, yang layak disebut rumah tikus.
Sebab semenjak ditinggal pemiliknya, lapik pusaka dari daun pandan tersebut pantas disebut rumah tikus. Di sanalah hewan penggerek itu istirahat, tidur, makan, minum kawin, melahirkan, mantu terus bercucu dan bercicit.
Kami hanya punya sebuah kuali sebagai peralatan memasak serba guna. Air minum, nasi dan sambal semuanya dimasak dalam wadah yang sama.
Agar pedasnya hilang, pertama, kuali dicuci bersih digosok pakai pasir dan sabut kelapa. Terus digunakan untuk memasak air. Setelah mendidih air minum ditaruh ke dalam tabung bambu.
Selanjutnya, kuali jadul itu beralih fungsi buat wajan memasak sambal. Kemudian jadi periuk penanak nasi.
Terakhir nasi dipindahkan ke daun pisang, yang sekaligus pengganti piring makan. Karena permukaannya terbentang lepas dan licin, makan diatas daun pisang membuat adik-adikku menangis karena kesulitan meraup nasi.
Beberapa kali emak menyebunyikan air mata. Saat itu benar-benar berlaku hukum alam yang menjadi pribahasa orang tua-tua, “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, masih enak di negeri sendiri.
Menikmati Pengangguran tanpa Beban
Sepahit apapun kehidupan kami, emak tabah menjalani. Tidak ada percekcokan antara beliau dan bapak. Semuanya mengalir bagaikan air sungai.
Saya menikmati masa pengangguran tanpa beban. Karena sudah berhenti dari Sekolah Rakyat. Tiada tugas dan PR dari Pak Guru, tiada tagihan uang bulanan yang numpuk.
Tiada pula dikejar ketakutan disuruh berdiri di depan kelas karena tak hafal arah mata angin, tidak pandai membaca peta Indonesia dan dunia. Dan tidak menguasai pelajaran berhitung. Khususnya operasi hitung pecahan, yang biasa disebut sefren.
Yang paling membuat saya lega, selama berhenti sekolah, saya tidak lagi menjadi olok-olokan teman sekelas karena sering terlambat. Maklum. Jarak sekolah dan rumah, kurang lebih 5 kilometer ditempuh dengan jalan kaki.
Emak Sakit Belasan Tahun
Setelah masa sulit itu sirna, bapak duluan pergi. Saya hanya sempat membahagiakan emak beberapa tahun saja. Itu pun alakadarnya. Maklum zaman dahulu gaji saya dan suami cukupnya Senin Kamis. Selepas mengajar saya berusaha bekerja sampingan. Kalau tidak, susah membiayai anak sekolah.
Yang menyedihkan, ketika rejeki saya agak lumayan, emak sakit belasan tahun diserang tuberkulosis. Akhirnya beliau pergi meninggalkan kami September 2008.
Saya menyesal karena tak sempat membawa beliau pergi haji. Hanya doa yang selalu saya kirimkan semoga beliau damai di alam sana.
Inilah pengalaman masa kecilku. Mana pengalamanmu? Salam dari Pinggir Danau Kerinci.
Baca juga:
- 4 Manfaat “Mncen” Terhadap Pasangan Baru di Desa Tebing Tinggi, yang Harus Dilestarikan
- Mengorek Rahasia Pentingnya Kehadiran dan Manfaat Anak Dalam Pernikahan
- 4 Cara Tes Keperawanan Perempuan, 1 ada di Indonesia
- Anda Harus Tahu Untung Ruginya Nikah Sesama Keluarga.
****
Penulis,
Hj.
NURSINIRAIS
di
Kerinci Jambi
wah... masa kecil yang indah.....
BalasHapuspasti yang indah indah sangat dikenang, dan ingin diulang....
Thank you for your sharing
Betul, Mas Tanza. Sepahit apapun pengalaman zamn itu, sangat indah untuk dikenang.
HapusAl-fatihah untuk emak, ya bunda.. Yang dulu pahit, kini menjadi manis.. Saya jadi teringat Almarhumah, Mama.. ^_^
BalasHapusAlhamdulillah, nyatanya begitu. Terima kasih doanya ananda Naia. Selamat beraktivitas.
HapusHebatnya orang jaman dulu begitu ya bu, ekonomi bukan kambing hitam untuk saling bertengkar. Semoga almarhum dan almarhuman di berikan cahay terang di disana.
BalasHapusCoba zaman sekarang, ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang. Terima kasih telah mengapresiasi, ananda Srie. Salam sehat dari jauh.
HapusIkut menyimak bu Nur..
BalasHapusTerima kasih, Mas Warsa. Salam sehat dari jauh.
HapusPenuh lika liku banget yah bu nur,, emang hidup dijaman dulu berat, sekarang jg sih sbnarnya..
BalasHapusTapi saya salut bu nur bisa bertahan dan sekarang bu nur sudah menjadi orang yang sejahtera dan semoga sehat selalu bu nur
Alhamdulillah, dibandingkan zaman dahulu, rasanya lumayan sejahtera, ananda Norfahrul. Terlebih semenjak pensiun, anak2 udah kerja dan berumah tangga semua. Tinggal mikir kami berdua aja. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat malam.
HapusLuar biasa pengalaman hidupnya Bu Nur. Kira-kira sezaman dengan kedua orang tua saya. Bedanya mereka berdua sama-sama justru dikirim keluarga untuk merantau jauh.
BalasHapusSemoga kedua orangtua Bu Nur berbahagia disana melihat Bu Nur dan keluarga yang selalu medoakan keduanya
Amin. Terima kasih doanya buat ibunda tercinta, ananda Annisa. Selamat malam, terima kasih telah hadir.
HapusMasa kecil yang paling indah bund, jadi ingat masa kecilku, kangen dengan orang-orang yang sudah tiada
BalasHapusMasa kecil yang pahit, namun indah untuk dikenang. He he ... Terima kasih telah singgah, ananda Dinni. Selamat istirahat.
HapusMakasih sharingnya Bu, terharu bacanya.
BalasHapusMembayangkan masa kecil Bu Nur, membuat saya merasa malu mau ngeluh tentang masa kecil.
Betapa hidup kami dulu susah, tapi minimal kami Alhamdulillah masih bisa makan, masih bisa sekolah.
Saya suka membaca hal-hal seperti ini Bu, karena penuh hikmah dan pelajaran yang mengorek rasa syukur saya.
Sehat selalu ya Bu :)
Terima kasih kembali, ananda Rey. Saya juga suka membaca curhatanmu. Karena sesama perempuan banyak hikmah yang bisa kita petik darinya. Selamat siang. Maaf telat merespon.
Hapus