Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 3]
Habis, Eyang Wiro memang dikaruniai keahlian dalam merangkai kata. Bahasanya ringan tapi kekinian. Bagi saya sekilas saja melihat judul cerpennya rugi rasanya kalau tak dibaca sampai tuntas.
Mau bukti? Tunggu buku kumpulan cerpennya Dongeng Orang Kecil yang insyallah dalam waktu dekat siap meluncur di hadapan kita semua.
Sebagaimana telah dijelaskan pada episode sebelumnya, untuk pengenalan Eyang Wiro memberikan kepercayaan kepada celotehnur54 untuk menayangkan 10 cerpennya. Dan ini adalah cerpen ke 3, dengan judul “Pemulung Cilik”.
Sebelumnya dalam cerpen Menguras Rawa [part 2], Eyang Wiro bertutur tentang keseruan dia dan teman bermainnya menangkap ikan di rawa, pulang-pulang menenteng ikan dengan pakaian penuh lumpur.
Maka pada cerpen ke 3 ini dia membeberkan suka dukanya menjadi seorang pemulung.
Banyak pelajaran hidup yang kita petik dari karya Eyang Wiro yang satu ini. Salah satunya, ada oknum-oknum tertentu yang menganggap orang kecil itu stratanya lebih rendah.
Sebagai anak yang besar dalam keluarga yang kurang beruntung di segi ekonomi, saya pun sudah kenyang dengan perlakuan tersebut.
Ingin tahu bagaimana Wiro kecil melakoni profesinya sebagai pemulung? Baca cerpen berikut sampai habis.
Pemulung Cilik
Polisi berseragam lengkap menyambangi sekolahku. Terlihat ibu-ibu mengiringi dua pria berpistol dari belakang. Juga segerombol pemuda dan anak-anak turut membuntuti.
Hari itu benar-benar ramai. Kepala sekolah yang menyadari kehadiran sejumlah orang langsung mencari tahu. Beliau memanggilku, menghentikan pelajaran yang tengah berlangsung.
Suasana menjadi gaduh, seisi sekolah memandangku curiga. Mungkin mereka mengira aku mencuri, seperti anak sekampungku yang biasa diciduk oleh aparat. Daerah kumuh tempatku tinggal cukup padat, menampung orang yang belangsak, dan sulit sekali menemukan pemeluk agama yang taat.
Tempat tinggal kami memang terkenal menjadi langganan buruan polisi. Banyak yang tertangkap dengan macam-macam kasus. Menjambret, berjudi, minuman keras, dan tindakan kriminal lain.
“Nanti Wiro ceritakan apa adanya ke Pak Polisi. Tak usah takut, jangan ada yang diubah-ubah.”
Kepala sekolah menepuk pundakku dan menyuruh ikut dengan polisi. Tanganku dipegang dan diboyong menuju rumah.
Sejak semalam, Bapak telah menyiapkan balok. Jika sepasang suami istri tersebut berhasil memenjarakanku, maka Bapakku yang mantan petinju siap melayangkan baloknya.
Kasus ini sudah menimpaku beberapa hari. Upaya kekeluargaan pun sudah dilakukan. Bapak terpaksa mondar mandir ke rumah RT, RW, pusing sekali dibuatnya.
Dan hari ini puncaknya, mereka nekat membawa polisi.
***
Subuh beberapa waktu lalu, aku pergi memulung. Dengan karung di punggung, aku melewati sebuah rumah besar. Ada dua orang tengah asyik bercengkrama, duduk santai di teras. di depan mereka berjejer sepatu yang lumayan bagus dilihat dari jauh.
Keduanya memanggilku. Dengan wajah sumringah aku berlari mendekat.
“Ini dia sepatu, sana bawa pulang.”
Aku menyambar benda itu sambil teriak senang. “Terima kasih, Tante, Om.”
Dua minggu kemudian, tepatnya tiga hari sebelum para polisi datang, dua sosok tersebut mengunjungi kontainer sampah warna kuning berbentuk segienam, tempat anak-anak miskin sering berkumpul.
Kami tengah bermain, saling berkejaran, keluar masuk kontainer- menjadikannya arena berpetualang yang asyik. Dan seketika, keduanya mangambil alih perhatian kami.
“Ada anak-anak persis ini kecilnya.” Perempuan itu memegang kepalaku. “Saya kasih sepatu, lupa kalau didalamnya ada emas saya simpan.”
Teman-teman menyimak dengan mulut menganga. Darahku sontak berdesir.
“Empat puluh gram emas.”
Aku tidak tahu seberapa banyak itu, tapi mendengar nadanya, pasti itu jumlah yang besar. Tidak ada dari keluargaku yang memakai perhiasan emas meski setengah gram.
Dadaku kian berdebar. Ketakutan.
Panjang lebar perempuan itu menjelaskan. Terakhir dengan penuh ancaman, “Kalau di sini tidak ada yang mengaku, saya kasih besar perutnya sampai meletus.”
Sebagai anak kecil, jelas aku ketakutan. Apalagi sering mendengar cerita-cerita setan, mistis, dan ilmu hitam baik santet, teluh, maupun pelet dari tetangga. Ada yang perutnya berisi telur busuk, aneka paku, jarum, bahkan mur.
Dalam keadaan bergidik, aku mengangkat tangan. Lalu, ricuhlah sore itu.
Perempuan berbadan gemuk berambut keriting itu mengangkat tubuhku, lalu mendudukkanku di pundaknya hingga kedua kakiku menjuntai-juntai. Aku dibawa ke rumahnya. Teman-teman mengekor semua.
“Kembalikan, Nak. Nanti saya biayai sekolahmu.”
“Ndak adami, sepatunya sudah saya buang.”
Orang itu tekejut, “Dimana kau buang?”
Di dekat rumah ta’ji.”
Di depan sebelah rumahnya kutunjukkan lokasi sepasang sepatu kubuang. Model untuk perempuan, tidak ada yang akan memakainya meski kubawa pulang. Mamak terbiasa mengenakan sepasang sandal jepit lusuh. Maka kutinggalkan agar lebih mudah membawa tiga pasang yang lain.
“Tidak ada. Saya yang bersihkan tiap hari.” Suara perempuan itu berubah garang. Dia menurunkan badanku dengan agak kasar. “Pagi sore saya sapu, saya bakar. Tidak pernah ada sepatu di sini.”
Beberapa warga pun berdatangan mendengar keributan itu. Mereka menanyakan apa yang terjadi.
“Kenapa ada emas ditaruh dalam sepatu.”
“Saya takut kecurian,” jawabnya ketika salah seorang bertanya. “Makanya itu emas empat puluh gram saya bagi-bagi, saya simpan di dalam beberapa sepatu.
“Dari mana kamu dapat emas sebanyak itu?”
“Dari tabunganku.”
Rupanya sepasang suami istri itu bukan pemilik rumah, melainkan pembantu penjaga rumah besar itu. Mereka juga sambil berjualan gorengan serta kopi. Wajar jika uangnya banyak. Sehingga bisa menabung emas.
Lalu pagi ini, dua polisi telah duduk manis di rumah kami.
Mamak sudah membisiki. “Biar diancam mau disetrum, jangan mengakui sesuatu yang tidak kau lakukan.”
Kedua polisi khusuk mendengarku bercerita. Sementara di sekeliling , duduk Mamak, Bapak, juga suami istri yang mengaku sebagai korban.
“Sepatu ke dua kubuang juga karena tidak ada talinya,” lanjutku menjelaskan.
“Sepatu ke tiga dari bahan karet, tidak laku kalau dijual jadi kubuang juga.”
“Sepatu ke empat, sepatu bapak-bapak, jadi kubuang juga.”
Hanya itu yang berulang aku ceritakan. Sampai akhirnya polisi pun bosan.
“Maaf, Bu. Kami tidak bisa melanjutkan kasus ini,” kata polisi itu kepada si pelapor.
“Anak ini tidak mungkin berbohong. Usianya masih terlalu muda. Ibu bersabar saja. Semoga mendapatkan ganti yang lebih baik.”
Dua orang itu masih saja menuntut agar barang-barangnya kukembalikan.
Polisi menyerah. Lagi pula tidak ada tanda-tanda keluarga kami punya banyak uang. Kasus tersebut tak sampai ke meja hijau. Bahkan aku pun tidak dibawa ke kantor polisi.
Beberapa bulan kemudian, aku terperangah mendapati empat pasang sepatu di samping rumah seorang teman, tertancap di dalam lumpur.
Sepatu yang pernah kubuang.
Entah kenapa semuanya bisa berada dalam satu tempat meski kubuang terpisah-pisah.
Aku jadi bertanya-tanya, adakah segerombol emas pernah singgah di dalamnya.
Kenyataannnya, tak tampak perubahan mencolok dengan keluarga sang teman.
Atau hanya akal-akalan sepasang suami isteri itu agar keluarga kami takut dengan ancaman penjara, sehingga bersedia mengganti menggunakan apa saja?
Percuma. Karena orang yang tidak berpunya, tidak merasa takut akan kehilangan.
Dan sejak saat itu, pemilik sepatu tak pernah tampak lagi. Setiap aku memulung dan lewat depan rumah besar tersebut, pintunya selalu tertutup rapat. Sepasang suami istri itu seolah raib. (Bersambung).
Baca juga:
- Doneng Orang Kecil [Part 2] Menguras Rawa
- Dongeng orang kecil [part 1], Sarang Burung
- Kumpulan Pantun Ciamaik Hari Kemerdekaan
- Kumpulan Pantun Hari Jumat
- Kumpulan Pantun Tahun Baru Islam 1443 Hijriah
*****
Penulis,
S. Prawiro, Jakarta
inspiratif.....
BalasHapusthank you for sharing
Terima kasih kemdali, Mas. Salam sehat untuk keluarga di sana ya.
Hapuswah, malah jadi penasaran apa benar ada emas di dlm sepatu2 itu? hehehehe
BalasHapusMeskipun ada, paling segram dua gram ya, ananda Naia. He he ... Namanya cerita fiktif. selamat malam. terima kasih telah hadir. Selamat malam.
HapusVery interesting post!
BalasHapusThanks for sharing 😍😍
Regards:)
Welcome back, buddy. thanks for stopping too
Hapusihh kagum banget sama yang pandai buat dongeng macem ini. Aku cerpen aja jarang banget hihihi.
BalasHapusKarya Mbak Keza juga bagus kok. Terima kasih telah hadir. Selamat beraktivitas.
HapusMemang seru cerpen eyang wiro. Saya menikmati sekali bu. Oke, saya baca pelan kembali uang lain. Salam
BalasHapusSilakan, ananda Supriyadi. Selamat sore dan selamat beraktivitas. . Eyang Wiro itu hebat, tidak cuman banyak pengalaman hidup. Tapi wawasan menulisnya juga terasah.
Hapus