Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 1]
S. Prawiro. Begitu namanya saya kenal sejak bergabung di Komunitas Bisa Menulis (KBM) September 2015 lalu (semoga tak salah ingat). Dalam grup dia biasa disapa Eyang Wiro.
Beberapa kali saya membeli buku di Toko Asmanadia, selalu direkomendasikan berurusan dengan cowok ganteng yang satu ini.
Saya berpikir, “Mungkin dia karyawan AsmaNadia Publishing bagian marketing. Dugaan saya tidak meleset.
Tetapi Eyang Wiro juga seorang penulis. Dia rutin menayangkan cerpennya di grup KBM dan di akun facebook pribadinya @S. Prawiro. Tulisannya keren-keren, ceritanya unik, tidak biasa, menarik, disampaikan dengan bahasa ringan, dan enak dibaca.
Kemarin saya iseng, minta salah satu karyanya untuk diposting di celotehnur54.com.
Spontan dia menjawab, “10 cerita boleh.” Masyallah. Saya senang tiada terkira.
Kurang dari setengah jam, sepuluh cerpen mendarat di bumi Sakti Alam Kerinci.
Setelah ditelusuri, ternyata kisah-kisah tersebut sebagian dari isi buku dia berjudul Dongeng Orang Kecil. “Bukunya akan dicetak di ANPH (AsmaNadia Publishing House, Red), Nek. Tinggal nunggu instruksi Pak Isa Alamsyah. ISBN dan pernak-pernik lainnya sudah tuntas,” kata Eyang Wiro via WhatsApp-nya.
Buku yang dipengantari oleh Isa Alamsyah (Suami Asma Nadia) ini berisi 27 potongan cerita masa kecil sang penulis, tinggal bersama orang tuanya di pemukiman kumuh di salah satu sudut kota Makassar.
Penasaran?
Okey. Sembari menunggu buku Dongeng Orang Kecil ini jadi, Celotehnur54 siap menayangkan kesepuluh cerpen tersebut. (Part 1-10). Tetapi nenek
ini bingung. Diposting secara rutin terus menerus atau kapan maunya saja. He he ....Berikut bagian pertamanya.
Sarang
Burung
Mendengar lagu berjudul Monokrom dari Tulus membawa kenangan kembali tentang sebuah keluarga yang tinggal dalam kontrakan sempit di pemukiman kumuh.
Rumah keluargaku tempatku tumbuh besar.
“Berhenti ko nangis!”
Bentakan Bapak membungkam mulut dua saudaraku yang tengah sibuk bertikai.
“Bikin malu-malu saja semua ini. Kayak tong orang tak dikasih makan.”
Mata-mata nanar itu tidak lagi mengalirkan air, barganti bunyi sesenggukan yang tak teratur.
Namaku Wiro, dan ini kisah di masa kecilku yang terangkum dalam kehidupan bak dongeng penuh petualangan. Namun tak selalu indah.
Aku punya ciri khas, tahi lalat di samping hidung sebelah kanan. Cukup besar seperti Choco chips. Terlahir di tanah Sulawesi, namun aku menyandang nama berbahasa Jawa. Bapak sering dipanggil Mas Tunggal karena dialah satu-satunya orang keturunan Jawa yang tinggal di pemukiman kumuh yang kami tempati, di salah satu sudut kota Makassar.
Bapakku yang tengah marah-marah itu memang benci suara tangisan. Terlebih jika keluar dari mulut anak-anaknya. Selama hidup, baru sekali kulihat ada yang menitik dari matanya.
Baginya air mata adalah simbol kesengsaraan. Sengsara artinya anak-anak tidak makan dengan baik. Bagi orang miskin seperti kami, bisa makan adalah segala-galanya. Anak yang suka menangis berarti orang tuanya tidak becus mengurus keluarga.
Di situlah harga diri Bapak sebagai kepala keluarga dipertaruhkan.
Bapak bukan hanya tipe keras dengan ucapannya. Sebagai mantan petinju, tangannya pun kerap meremukkan tembok atau melemparkan gelas dan piring jika kemarahannya sudah memuncak.
Karena itulah, Mamak mengganti seluruh perangkat makan di rumah dengan piring dan gelas plastik.
Pernah suatu kali Bapak berseteru dengan Anto, kakakku yang nomor empat, hingga Bapak kehilangan kendali. Mamak berteriak lantang menyuruh Anto menyelinap pergi melalui pintu rahasia buatannya di dapur.
“Lari ko Nak, lari ....” Sementara badannya sengaja menghalang-halang Bapak, agar tak leluasa mengejar.
Itulah potret hitam-putih keluargaku. Sepuluh bersaudara, dengan lima anak laki-laki dan lima anak perempuan.
Dengan Bapak yang selalu marah-marah jika mendengar suara tangisan, sementara Mamak yang suka sekali menangis, dan akan dengan mudah mengalirkan air mata ketika sedih, marah, bahkan saat sedang sangat bahagia.
*
Jika dipikir-pikir, masalah utama keluargaku memang hanya berkutat soal perut. Setelah dewasa aku baru paham, kami seperti keluarga sekawanan burung.
Pagi-pagi, Bapak pergi menarik becak, hasilnya akan dibelanjakan untuk sarapan. Selepas itu kembali mencari penumpang agar anak istrinya bisa menyantap makan siang, pergi lagi untuk kebutuhan hidangan malam.
Bapak baru merasa lega kalau tiga waktu makan terpenuhi.
Begitu setiap hari.
Mirip sekumpulan burung yang pagi buta terbang menjemput rezeki, dan akan kembali ke sarang dengan perut kenyang.
Tidak ada mimpi muluk-muluk seperti membeli lemari, atau akuarium baru. Televisi masih terlalu mahal untuk kami idamkan.
Sepanjang ingatan masa kecilku, Mamak sangat mahir dalam mengurus hidangan bagi seluruh anak kandungnya. Akan ada piring sesuai jumlah anggota keluarga, lengkap dengan nasi dan lauk di atas kaleng beras yang disusunnya rapi.
Dan semua penghuni rumah ini tidak ada yang boleh minta tambah. Bukannya kikir, karena memang seluruh sudah habis dibagi rata.
Tidak jarang suara sumbang sebagai protes yang menuntut keadilan terdengar.
“Kenapa lebih besar telurnya Fani?” Atau, “Deh, banyakna nasi Mono.”
Ada saja celoteh yang bisa memancing keributan.
Mamak akan berusaha meredam dengan logat khas Makassar. “Sama semuaji itu, Nak. Tidak adaji yang dibeda-bedakan.”
Terkadang, kakak merecoki adiknya. “Mintaka sedikit telurmu, nanti ko boleh ikut pergi tangkap burung,” Atau, “Nanti kalau saya beli es, saya kasih ko juga.”
Dan, Sekali lagi, Mamak sibuk menengahi. “Jangan ko ganggu-ganggu adikmu. Nanti dia lapar, waktu makan malam masih lama.”
Karena takut saudara lain, biasanya kami mondar-mandir sambil membawa piring plastik persis orang dihujani bom, mencari tempat aman.
“Seperti manusia purba saja ini anak. Nanti banyak istrimu kalau lagi makan pindah-pindah tempat terus ko.” Bapak berkomentar panjang sembari mengancam.
Bagi anak kecil dulu, banyak istri merupakan sesuatu yang menakutkan. Mungkin karena hampir semua yang berjuluk Mamak di tempat kami bersikap keras, cerewet, galak, dan sangar.
Membayangkan punya istri satu saja menyeramkan, apalagi kalau punya banyak. Bisa habis aku dimarah-marahi. Begitu pikirku dulu.
Celoteh Bapak disambung sahutan Mamak, “Edede ... nantika tumpah itu makananmu, Nak.”
Benar saja, bocah-bocah usil ini tetap menenteng piring ke sana-sini, tak mengindahkan peringatan Mamak.
Sedikit senggolan telah menghamburkan isi makanan ke lantai tanah. Pemilik piring menangis, saudara yang lain menatap tegang. Wajah Mamak berubah muram. Tatapannya nelangsa.
Tidak ada lagi sisa makanan, isi panci telah dikeruk hingga kerak-keraknya. Aroma kesedihan serta-merta menyerbu sarang kecil kami.
“Sudah, jangan menangis, nanti Bapak-nu dengar,” Mamak berbisik.
*
Kalau sudah begitu, Mamak kadang mengalah memindahkan nasi dari piringnya kepiring adik, sembari tangannya mengumpulkan nasi yang jatuh berserakan. Barangkali masih bisa dimakan.
Tapi jika ia masih menyimpan sedikit uang, diam-diam Mamak menyodorkan sekeping lima ratus perak agar anaknya yang makannya tumpah bisa jajan kue di warung tetangga.
Sayangnya adik yang memergoki aksi Mamak, ikut-ikutan menghamburkan isi piring agar diberikan uang jajan. Tidak ada ampun. Mamak selalu tahu mana yang disengaja dan mana yang tidak. Habislah adik yang banyak tingkah ini, paha dan perutnya dihujani cubitan kecil.
“Cari makan susah, Nak! Jangan macam-macam.”
Ada trik lain kalau Mamak tidak punya banyak beras. Ia akan menggelar nampan lebar berisi ubi rebus. Kami menyantapnya bersama hingga nyaris kenyang.
Dan saat itulah, nasi beserta lauk yang tak seberapa, dihidangkan. Cara ini cukup ampuh menghambat rasa ingin tambah.
Jika mau makan lebih, kami harus usaha sendiri. Itulah kenapa aku dan kakak-kakak jadi terbiasa mencari uang sejak kecil.
*
Deret rumah kontrakan yang kami tinggali
terletak di tempat kumuh. Lokasinya diapit dua perumahan mewah, sementara sisi
utara dan selatannya dibatasi rawa-rawa dan lapangan rumput yang belum
terjamah.
Bila diteropong dari atas, maka rumah-rumah ini akan kontras dengan bangunan lain yang bertengger di luar pemukiman.
Sarang kecil kami berdinding tripleks, dengan atap tua kemerahan akibat karat. Atapnya yang bocor-bocor sudah ditambal oleh Bapak. Lampu dibiarkan menyala sepanjang hari. Selain karena tak ada jendela, nyala atau padam tarifnya sama saja.
Lagi pula Bapak gampang emosi bila tidak mendapat pencahayaan yang cukup.
Bapak membagi hunian dalam tiga sekat. Di ruang tamu terdapat akuarium retak, satu-satunya benda berharga milik keluarga ini. Garis pecahnya yang melintang sudah direkatkan dengan lem kaca. Berbagai jenis ikan hias hasil tangkapan Bapak menghuninya.
Berapa kursi pastik berderet di dekat ranjang hijau bertiang empat. Kaki-kaki kursi yang patah ditopang kayu sisa bahan bangunan. Di ranjang itulah ke tiga kakakku beristirahat setiap malam. Sementara Anto punya kamar sendiri di atas loteng.
*
Jika sewaktu makan kami sibuk berebut, lain cerita saat malam tiba. Kontrakan kembali gaduh. Terdengar suara saling suruh.
“Kemarin sudah giliranku pasang seprei. Sekarang kau lagi,” tunjukku pada salah satu adik, mendapati ranjang kami dipenuhi remah-remah pisang molen yang dibawa Bapak sepulang menarik becak.
“Saya kemarin yang usir nyamuk,” bantah Mono, adikku yang paling tidak suka diperintah.
Karena ribut, akhirnya Mamak yang turun tangan.
Sebelum kelambu digeraikan, kami harus memastikan tak ada nyamuk yang turut menginap.
Berdesakan bersama adik-adik, aku tidur di atas kasur yang sudah membatu di ruang tengah. Bersebelahan dengan ranjang berkelambu tebal, tempat Mamak, Bapak, dan adik yang masih bayi terlelap.
Ranjang impian aku menyebutnya. Setiap dari kami menginginkan bisa tidur bersama Bapak dan Mamak. Tapi hanya adik bayi dan-jika ada anak-sakit saja yang diizinkan menginap di dalam sana.
Ketiga dipan di rumah ini menjadi pangkalan armada kutu busuk. Hampir tiap malam, Mamak tekun memerikasa setiap celah kasur dan tak segan memiteskan binatang kecil penyebab gatal-gatal itu.
Sekat terakhir adalah dapur, tempat Mamak Memasak dan menata hidangan. Bagiku, wangi paling enak adalah aroma masakan yang tercium dari dapur Mamak. Pertanda sebentar lagi rasa lapar akan segera enyah. Pantas jika ruangan ini menjadi favorit seluruh anggota keluarga.
Rumah masa kecilku tak lain seperti sarang burung. Sempit, tidak cantik, bahkan tak menawarkan kenyamanan. Namun kuakui, benar-benar hangat.
*
Lembaran foto hitam putih, aku coba ingat lagi wangi rumah di sore itu. Kue cokelat, balon warna-warni. Pesta hari ulang tahunku.
Wangi kue cokelat dan balon warna-warni mungkin adalah kenangan yang terekam versi orang kaya.
Untuk anak miskin seperetiku, yang bahkan selembar foto keluarga berwarna hitam putih pun tidak ada, punya wangi sendiri yang bisa mengingatkan pada satu sosok yang paling berarti.
Ya,
setiap kali mencium aroma khas kutu
busuk, aku selalu teringat Mamak. (Bersambung).
Baca juga:
- Kumpulan Pantun Ciamaik Hari Kemerdekaan
- Kumpulan Pantun Hari Jumat
- Kumpulan Pantun Tahun Baru Islam 1443 Hijriah
- Pentigraf: Awas Terjebak Cemburu
- Cerita Mini: Hantu Pocong
*****
Penulis,
S. Prawiro, Jakarta
orang jawa selalu ada dimana mana 😁
BalasHapusFakta memang begitu, Mas Julaiman. Selamat pagi. Terima kasih telah singgah.
HapusKyaknya komunitasnya keren ya nek KBM...
BalasHapusCerpen mas prawiro keren.. Ditunggu cerpen yg lainnya nek
Siap, cucunda Alul. Terima kasih ya, telah mengapresiasi. Doa sukses untukmu selalu.
Hapuswah... ceritanya menarik.... kehidupan mayoritas rakyat.... kita kita...
BalasHapusTerima kasih telah memperkenalkan cerpenis S Prawiro.... 👍👍
Terima kasih kembali. Mas Tanza. Ntar kalau bukunya redy, boleh diorder. Biar bukunya sampai ke Amerika. Sekalian Eyang Wiro nyicip dolar USD. He he ...
HapusCerita Eyang Wiro eh S. Prawiro sangat menarik Bu haji. Ceritanya relate banget dengan kehidupan rakyat kecil. Bagi rakyat kecil, bisa makan tiga kali sehari sudah mewah.
BalasHapusAnak kecil berpikirnya lucu ya, kalo punya banyak istri nanti bahaya karena mamaknya cerewet dan galak.
Ha ha ... Dikaitkannya dengan pamali, katanya tipe Emak2 Makassar itu cerewet, bengis, dan sangar. Terima kasih telah singgah, Mad Agus.
HapusAwalnya baca satu paragraf aja, lama-kelamaan habis juga baca satu postingan. Ternyata enak juga ya bu baca cerpen :)
BalasHapusSaya suka semua cerpen Eyang Wiro. Certanya unik, menarik, Bahasanya ringan tapi kekinian. Selamat siang, Mas Ridsal. Terima kasih telah singgah.
HapusMantap bunda
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih, ananda Nita. Selamat sore.
HapusKeren eyang Uti
BalasHapusTerima kasih, cucunda. Selamat sore. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.
HapusMasyaallah, saya ga pokus baca cerpennya karena baek bener penulisnya buat ijinin re-posting di blog lain T.T
BalasHapusSya juga kaget begitu dia menjawab akan ngirim 10 cerita. Tapi saya berusaha sambil ngeposting ada sedikit unsur promosinya. Walaupun dia tidak minta. Kasian anak muda sedang merintis karier. Mana tahu dia bisa ngetop sebab umurnya masih muda. Baru 5 th nikah, punya anak 2. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat pagi, Mas Andi.
HapusWoahh! Saya juga baru 5 tahun nikah mbak, anaknya 1. malah jadi cerita di komentar :))
HapusMas Andie masih muda. 28 tahun. Angkatan cucu saya. Panggil saya Nenek saja. Anak bungsu saya usianya 36 tahun. Punya anak 4. Anak pertama kelahiran 1975. Tapi meninggal.
HapusKeren, Bu Nur😊👍
BalasHapusTerima kasih telah hadir, Mas Warkasa. Selamat Malam.
HapusBagus banget, Bun.. Sampai terbayang piring yang tersenggol dan nasi berserakan di lantai..
BalasHapusSedih membayangkannya ya, ananda. Ceritanya hidup, Seakan-akan kita Berada di tengah mereka menyaksikan langsung kondisi sebenarnya..
HapusBu Haji, aktif di KBM juga?
BalasHapusSaya cuma jadi SR aja di KBM tapi udah jarang kayak capek gitu lama-lama temanya hampir seragam tentang pelakor
Tulisan Eyang Wironya bagus 😍
He he ... Tidak hanya tentang pelakor, Gosip tentang mertua pun ikut meramaikan konten-kontennya. Saya juga udah lama gak aktif. Salama KBM baru, sekali pun belum pernah nulis di sana. Cuman bergabung saja. Terima kasih telah singgah, ananda Pipit. selamat malam.
HapusCerpen yang menarik, terima kasih sudah sharing cerita Bu. salam sehat.
BalasHapusSalam sehat kembali, Pak Eko. Terima kasih telah singgah. Doa sukses selalu.
HapusSaya selalu senang membaca cerita yang berlatar belakang kehidupan sosial yang nyata. Rumah sempit, Pemukiman kumuh, Makanan yang susah dan kisah-kisah pada cerita ini semuanya seolah-olah mengambarkan kehidupan saya sendiri. Apalagi memasang kelambu dan kutu-kutu kasur yang nakal, Saya pernah juga mengalami!
BalasHapusoke bu, say lanjut ke cerita berikutnya !
Ananda Supriyadi! Masa Nenek ini malah lebih parah susahnya ketimbang kehidupan sosial penulis cerpen ini. Maklum, zaman itu negara kita baru merdeka. Selamat sore, salam sejahtera untukmu di sana.
Hapus