Merajut Nostalgia di Kampungku Inderapura, Sebelum dan Setelah Merdeka
“Kau lahir tahun 1953.” Kata paman sepupuku, saat saya tanyakan kira-kira tahun berapa kelahiran saya yang sebenarnya. Pada zamannya, beliaulah satu-satunya keluarga kami yang mengerti tentang kalender.
Terkenang jawab sang paman, saya sering menghitung-hitung dalam hati, “Artinya saya mulai nongol ke dunia 8 tahun setelah Indonesia merdeka.
Punya tanggal lahir produk pribadi
Dulu, saat Emak mengantarkan saya ke Sekolah Rakyat, beliau bilang ke Pak Guru, “Anak saya ini lahir bulan puasa. Sekarang umurnya sudah 7 kali Hari Raya.”
Narasi ini senjata ampuh bagi Emak untuk menjawab pertanyaan orang-orang, berapa umur anak kerempeng kesayangannya ini. Cuman angka Hari Rayanya yang berubah-ubah. Sesuai dengan jumlah lebarannya.
Namun secara administratif, tanggal lahir saya tercatat 05 Agustus 1954. Ini produk pribadi, ketika saya mendaftar masuk sekolah PGA 4 Tahun (1968).
Saya tak tahu entah malaikat apa yang membisikkan pada indra yang bernama lidah ini. Saat Pak Guru menanyakan tempat dan tanggal lahir, lancar saya menjawab, “Inderapura, Lima Agustus sembilan belas lima empat.”
Emak sering berkisah
Alham dulillah, saya tak pernah merasakan pahit getirnya hidup di zaman penjajah. Mendengar cerita almarhumah Emak saja saya sedih. Membayangkan beliau sering tak kenyang makan. Untuk pengganjal perut, hanya mengandalkan sagu yang dimasak pakai garam.
“Bila malam tiba, untuk penerang semua penduduk menggunaka dama gebak (getah pohon damar yang dimasukkan ke dalam tabung lalu dibakar). Minyak tanah tidak ada.
“Kami tak punya baju berbahan kain. Pakaian kami dari kain tghok, terbuat dari kulit kayu tarok (Minang). Tempat bersarangnya tuma (sejenis kutu di kepala).
“Waktu Jepang masuk, kami dikasih baju berbahan kain warna hitam. Kemudian mereka (Jepang) menyalakan api unggun. Pakaian lama kami mereka bakar semua. Tumanya meletup-letup dimakan api.
“Anak gadis tak boleh keluar rumah. Takut diculik paksa oleh tentara penjajah. Tengoklah anak cucu sia Anu. Mereka rancak-rancak (cantik-cantik ), putih mancung, badannya besar tinggi. Nenek moyangnya dulu dikawini Belanda.” Demikian kisah-kisah tersebut beliau ulang-ulang entah berapa ribu kali.
Lain cerita Emak beda pula cerita anak
Lain zaman Emak kecil, beda pula dengan masa saya masih anak-anak. Saya dan teman-teman memang tidak menyaksikan bangsa ini menggunakan bambu runcing melawan kolonial. Tetapi kami sibuk berperang dengan kemiskinan dan serba keterbatasan.
Puncaknya era pertengahan enam puluhan. Karena di samping negara memang miskin, saat itu kampung kami Inderapura sana diterjang kemarau panjang. Apa-apa yang ditanam tak bisa tumbuh. Beras susah dicari. Sudah tak punya duit untuk membeli, penjualnya pun tidak ada.
Saat itu kondisinya hampir berlaku bagi semua keluarga. Hanya golongan tertentu saja yang selamat dari amukan kemiskinan.
Pagi-pagi antar tetangga kami sering saling intip. Dapur siapa yang asapnya mengepul berarti dia punya beras untuk ditanak.
Saya sering nangis dalam selimut. Waktu itu saya bersaudara 4 orang. Tambah Emak Bapak semuanya ada 6. Andai punya beras sedikit, Emak menanak nasi bercampur pisang mentah. Namanya nasi bagandau.
Jika berasnya amat sedikit (kira-kira dua genggam), Beras tersebut dia rebus dengan air yang banyak. Hasilnya bubur encer. Dua-duanya berefek buruk bagi perut yang tak sudi menerima.
Habis makan nasi bagandau perut mual seakan mau muntah. Setelah makan bubur sering kencing. Kenyangnya cuman kurang lebih sepuluh menit, kemuadian lapar lagi. Lemah seluruh persendian.
Jalan kaki 12 kilometer per hari
Sekolah biaya sendiri. Tak ada bantuan apa-apa dari pemerintah. Kami tak kenal dengan namanya subsidi, bea siswa, apalagi uang bos.
Padahal saya termasuk siswa yang tak bodoh-bodoh amat. Pintar juga tidak. Cuman orang tua tak punya biaya untuk menguliahkan saya ke perguruan tinggi. Coba zaman sekarang. Mungkin saya bisa merebut S.3. Minimal es teler. He he ....
Semasa menempuh pendidikan di PGA 4 tahun, setiap hari ke sekolah jalan kaki. Dua belas kilometer pulang pergi. Berangkat dengan perut kosong. Kadang-kadang sekadar umpan cacing di perut saja kami tak punya makanan untuk disantap. Apalagi nasi. Uang jajan merupakan barang langka.
Zaman itu kehidupan masyarakat sudah berangsur membaik. Sudah banyak yang pakai sepeda ke sekolah. Meskipun terbatas pada anak-anak orang berada saja.
Saya masih ingat, ketka suatu saat mengikuti kegiatan ekstra di sekolah. Aktivitas berakhir pukul lima sore. Saya harus pulang sendiri jalan kaki. Maklum ketika itu masih banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya.
Sampai di rumah setelah magrib. Disirami hujan rintik-rintik, negeri gelap tanpa penerangan. Semua rumah tangga hanya menggunakan lampu minyak.
Tak jarang hanya mengurus sedikit keperluan, semisal disuruh Emak menyampaikan secarik pesan kepada keluarga beda alamat, saya terpaksa jalan kaki sampai 7 kilometer. Empat belas kilo pulang pergi.
Kurang apa lagi rakyat sekarang?
Bandingkan dengan
kondisi sekarang. Setelah 76 tahun Indonesia merdeka. Berkat kemajuan Teknologi, Semua urusan dapat
diselesaikan dengan mudah. Jarak jauh bisa jadi dekat, waktu lama bisa dipersingkat. Mau sekolah/kuliah bea siswa melimpah. Asalkan pintar merebutnya.
Bila bencana datang melanda, dalam tempo sesingkat-singkatnya pemerintah turun tangan. Relawan hadir membawa bantuan, mulai kebutuhan pangan, sandang, sampai obat-obatan.
Yang miskin disantuni, yang terdampak corona dapat jatah. Sedikit saja pemerintah lalai, caci cerca berhamburan se jagat raya.
Duh enaknya zaman sekarang. Kurang apa lagi, coba! Anehnya, ada oknum yang mau kaya tapi malas kerja. Royal melemparkan kesalahan pada pihak lain.
Selaku nenek-nenek yang pernah hidup pada tujuh zaman, saya bersyukur dan berterima kasih kepada pemerintah dengan kondisi sekarang. Siapapun presidennya. Saya sendiri belum berbuat apa-apa terhadap negara dan bangsa ini.
Walaupun masih ada saudara kita yang belum tersentuh pembangunan, itu wajar-wajar saja. Mengingat Indonesia ini negara kepulauan yang sangat luas, penduduknya menyebar ke sudut-sudut desa. Terutama beliau-beliau yang berdonisili di daerah terluar.
Tetapi bukan berarti mereka harus tertinggal selama-lamanya. Pemerintah harus gencar melakukan perbaikan atas nasib mereka. Memperhatikan hak-haknya sebagai warga negara. Salah satu yang penting dari yang paling penting , memberikan pendidikan yang cukup. Karena hanya dengan pendidikan pola pikir dan nasib manusia itu bisa berubah.
Duh ..., bualan nenek ini terlalu panjang. Sampai disini dulu ya. Besok disambung lagi dengan tema nyinyiran lain. Selamat Merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke 76. Merdeka ....!
Baca juga:
- Ingin Sukses Berpidato? Lakukan 2 Hal Ini
- 8 Tips Mengatasi Kekhawatiran Sebelum Berpidato
- Pengalaman Pahit Merenda Kehidupan
- 3 Pemicu Konflik Antar Tetangga yang Harus Diwaspadai
*****
Inspiratif, terimakasih untuk artikelnya Bu Nur..😊
BalasHapusTerima kasih kembali, Mas Warkasa. Selamat merayakan hari kemerdekaan. Terima kasih juga telah singgah. Merdeka ....!
HapusSehat-sehat, bu. Tetap berbagi cerita motivasinya
BalasHapusAmin, Mas Nasirullah. Terima kasih doanya. Salam sehat juga untuk keluarga di sana.
HapusTerima kasih sudah berbagi kisah, bunda.
BalasHapusSemoga pemuda-pemudi zaman sekarang bisa lebih bersyukur dengan kondisi Indonesia saat ini
Amin, ananda. Naia. Betul, Seharusnya memang begitu. Selamat malam. Terima kasih telah singgah. doa sehat untuk keluarga di sana.
Hapusmasya Alloh inspiratif sekali bunda..mbul jadi kebayang saat bunda masih kecil dan masa masa ibunya bunda di era usai kemerdekaan RI...kebayang bahan makanan masih seadanya...dan jadi o
BalasHapuspenasaran rasa sagu campur garam, bubur encer karena beras direndam terlalu banyak air hiks...dan bahan bakar ada dari bahan damar :)
oiya bunda, berarti kutu dalam bahasa minang sama ya dengan bahasa jawa, di sini kutu disebutnya sebagai tuma juga
Faktanya begitu, ananda Mbul. Tapi sangat indah bila dikenang. Jalan kaki ke sekolah 12 km pp. Syukur semuanya terbayar. Walaupun hindup bunda jauh dari kata kaya harta. Tapi kaya hati. Oh, ananda Mbul kenalkah dengan tuma?
HapusMasyaAllah watabarokallah. Perjuangan hidup zaman awal kemerdekaan sungguh luar biasa strugle ya bu.
BalasHapusMudah-mudahan generasi saat ini tidak terlena dengan banyaknya kemudahan yang bisa di dapat.
Terima kasih bu sudah memberikan inspirasi dan motivasi agar tetap semangat dan mawas diri di 76 tahun kemerdekaan negeri kita
Amin, ananda Regen. Namamu sama dengan anak bungsu saya usianya 36 th. Sama2, Regen. He he ....
Hapusselamat ulang tahun, Indonesia :D
BalasHapusUcapan yang sama, mbak. Terma kasih telah singgah. Merdeka.
Hapuspasti bisa S3... hehehe
BalasHapusBanyak yang bisa dipetik dari kisahnya .....
thank you for sharing
Kisah kehidupan anak desa itu unik, Mas. Kadang seperti suatu kemustahilan. Terutama bagi anak2 kota. Selamat malam dari tanah air, Mas Tanza.
HapusInspirasi yang menarik bu Haji..😊😊
BalasHapusMeski negri ini sudah merdeka dari kaum penjajah. Namun masih banyak sesuatu yang harus dimerdekan kembali dengan cara yang berbeda.😊😊
Sepakat Mas Satria. Terutama memerdekakan diri sendiri dari hal2 yang merusak hati dan pikiran. Selamat malam. Terima kasih telah singgah.
HapusMasya Allah bu, nggak nyangka orang seumuran ibu masih semangat nulis dan beradaptasi dengan internet. Kebanyakan biasanya pada ngeluh sama perkembangan teknologi.
BalasHapusCeritanya menginspirasi banget bu, kayaknya kalau sekarangan kebanyakan ngeluh ya malu sama orang-orang dulu. Sekarang apa-apa mah gampang, tinggal pilih mau atau enggak aja.
HapusAlhamdulillah berkat kesehatan pemberian Allah. sehingga saya masih bisa menulis apa adanya.
... kalau sekarang kebanyakan ngeluh ya malu sama orang-orang dulu. Sekarang apa-apa mah gampang, tinggal pilih mau atau enggak aja. Benar, ananda Zakia. Memang sudah zamannya begitu. Dasar rezeki anak zaman now. He he .... Terima kasih telah singgah. Selamat berakhir pekan.
Merdeka !!!! Sepertinya di saat sekarang semoga sudah banyak berubah. Kisah di hari kemerdekaan yang sangat inspiratif. Tidak ada lagi yang saling mengintip dapurnya ngebul atau tidak, karena sudah pakai kompor gas, sudah hampir semua siswa ke sekolah naik kendaraan dan sudah jarang yang masih jalan kaki sejauh Bu Nur (luar biasa Bu), sudah hampir Semua menikmati makanan lebih enak dari sagu berlauk garam ( kalau saya nasi dicampur parutan kelapa dan garam), Bersyukur dan Alhamdulillah sekarang berangsur menuju sejahtera. Bagi yang sering teriak teriak nggak karuan, mesti baca cerita Bu Nur, betapa jaman dulu penuh perjuangan. Jaman sekarang disuruh belajar keras sedikit saja sudah ngomel nggak karuan, disuruh jalan ke sekolah saja, ngambek nggak mau sekolah, dulu boro boro ada bantuan, harus usaha sendiri he..he..he.... terima kasih sharingnya Bu, salam sehat..
BalasHapusAlhambulillah faktanya begitu, Pak Eko. Tiada lagi mencari kayu bakar di hutan untuk memasak. Tak ada juga makan nasi bercampur pisang mantah. Untung saya bersekolah. Sehingga nasib bisa berubah. Selamat akhir pekan, Pak Eko. Terima kasih telah hadir.
HapusMasyaallah, seusia mertua saya mbak.. semoga dilimpahkan kesehatan dan umur yang panjang untuk tetap menulis ya mbak..
BalasHapusDulu waktu saya SD, sering ada penjual depan sekolah yang menjual "kalender sepanjang masa", cukup putar-putar gitu, kita bisa tahu hari apa pada tanggal tersebut.
Rasanya kalo dipakai untuk jaman sekarang, ga ada gunanya ya 😂😂
Masyaallah, seusia mertua saya mbak.. semoga dilimpahkan kesehatan dan umur yang panjang untuk tetap menulis ya mbak.. >>> He h he ... Makanya mulai hari ini panggil saya nenek ajah. Kemudaan kalau disapa Mbak . Terima kasih telah hadir, Mas Andie. Selamat bermalam Minggu.
Hapusdulu waktu SD jalan kaki sekian kilometer nggak berasa capeknya, sekarang karena udah "dimanjakan" sama motor dan kemana mana udah motoran, jalan kaki sekian kilo udah males aja bawaannya
BalasHapuspadahal zaman dulu, zaman penjajahan, pahlawan kita berjalan kaki ratusan kilo
Wow... Pernah juga jalan kaki rupanya. Sekarang jalan setengah kilo saja rasanya malas. Coba anak-anak sekarang ke sekolah jalan kaki. Mungkin banyak yang minta berhenti. selamat istirahat, ananda Ainun. Terima kasih atensinya.
Hapus