Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 8]
Tanpa terasa kita telah berada di penghujung September 2020, bersamaan dengan hadirnya musim hujun mengguyur bumi persada. Berbarengan dengan itu pula hari ini Cerpen Bertema Kehidupan Part 8 meluncur di hadapan kita semua.
Hujan adalah berkah. Semua makhluk menyambutnya gembira. Namun jika turunnya berlebihan, hujan itu derita bagi saudara kita yang bermukim di daerah rawan banjir.
Bagi anak-anak pedesaan yang berdomisili di bantaran kali, banjir adalah syurga. Mereka bebas berenang dan main rakit dari bambu atau batang pisang, sekalian menangguk ikan dan udang.
Anda pernah mengalaminya? Saya dan teman-teman kecilku sering. Andaikan banjir adalah sebuah fakultas, kami adalah lulusan dari sana.
Sumpah mati. Asyiknya sampai ke tulang. Tak peduli airnya kotor dipenuhi sampah bercampur tinja manusia, yang keluar dari kakus darurat penduduk. Anak lelaki dan perempuan bercampur aduk.
Keselek, terminum air, sampai digigit lintah, bukan hal yang aneh. Diteriaki dan dicubit emak, berhentinya paling setengah jam. Selepas itu saya turun lagi.
Saking senangnya, momen yang berlalu 60-an tahun itu masih bertengger di benak saya, tak akan terlupakan selama hayat dikandung badan.Nostalgia indah tersebut kembali menghangat saat membaca cerpen Eyang Wiro berjudul , “Musim Hujan”, kutipan dari bukunya Dongeng Orang Kecil bagian ke 8.
Buat Anda yang ingin menikmati hebohnya main di tengah banjir, silakan ikut Eyang Wiro menjemput kenangannya di sudut kota Makassar. Baca kisahnya sampai selesai, dapatkan sensasinya.
Oh, ya. Sebagai informasi tambahan, buku Dongeng Orang Kecil versi cetaknya telah bisa diorder. Yang minat, silakan hubungi penulisnya si ganteng S. Prawiro, WA 0852-1868-3868.
Musim Hujan
Aku pernah merasa menjadi kakak yang gagal.
Pemukiman terendam lagi.
Dibanding gaduh memaki langit, Mamak memilih sibuk berteriak pada anak-anaknya.
“Jangan ko ada yang coba-coba main air.”
“Tidak boleh ada yang hujan-hujanan.”
“Awas kalau ganti baju terus, kucubit ko.”
Dan aneka kalimat yang bernada keras lainnya.
Sedangkan Bapak, jauh hari becaknya sudah punya tenda khusus. Jas hujan pun telah disiapkan sehingga tak ada alasan untuk tidak mencari uang.
Bapak hafal betul kapan banjir datang, giat mengumpulkan papan bekas sisa bangunan yang sudah tak terpakai, Kayu-kayu itu disusun untuk dijadikan pijakan, agar kami bebas berkeliaran di dalam rumah tanpa harus kebasahan dan terhindar dari kutu air.
Beberapa tetangga menyingkir, pindah menumpang ke rumah kerabat. Namun lebih banyak yang memilih bertahan.
Tinja di selokan yang mengering bersama sampah, kini sudah hanyut sejak hujan lebat pertama mengguyur. Mengalir ke sungai dan beberapa mengambang dijalan.
Aku dan anak lain senang menangkap ikan cupang, sepat, atau ikan gabus yang naik ke bahu jalan. Basah-basah, berlari sambil tertawa riang, dan saling siram. Mengentakkan kaki di kubangan sehingga teman terkena percikan air kotor.
Sementara orang dewasa terlihat sibuk membuat rakit. Batang-batang pisang dikumpulkan, ditusuk dengan kayu runcing lalu diikat kuat-kuat bersama papan kayu. Mereka tangkas menyiapkan jasa alternatif bagi warga yang berkecukupan, untuk mengangkut motor sampai tiba di jalan besar.
Anak sekolah yang tak mau sepatu atau seragamnya basah turut mamanfaatkan jasa rakit. Mereka dikenakan tarif dua ribu rupiah per kepala, tak peduli usia. Atau lima ribu rupiah untuk motor, meski kadang ada yang memberi lebih.
Anak sekolah yang tinggal di tempat kumuh tetap berangkat menuntut ilmu. Kami memakai sandal jepit atau bertelanjang kaki, tas dimasukkan ke kantong kresek. Kadang kepala sekolah berinisiatif meliburkan, tergantung seberapa parah banjir yang melanda.
Risna kakakku yang gendut cepat sekali lapar di musim penghujan. Tak cukup makan tiga kali sehari. Bapak sendiri tak masalah. Seperti air yang tumpah ruah, uang Bapak juga lebih banyak dari biasanya.
Hujan memang berkah. Sumber penghasilan beragam. Lebih banyak penumpang memakai jasa Bapak, lebih melimpah sampah hanyut bisa diuangkan.
Apa lagi saat banjir surut, orang-orang di perumahan senang memakai jasa kami untukmembersihkan rumah. Juga mengecat ulang dinding yang sempat tersapa air. Beberapa orang kaya yang baik hati membagikan kursi, kasur, atau apapun yang terkena banjir.
Satu-satunya musim yang membuat hati bercampur antara senang dan sedih. Ada saja rekan tukang becak Bapak yang bertengkar lantaran merasa penumpang langganannya diserobot. Tak ada yang sungguh-sungguh percaya jika rezeki sudah ada yang mengatur.
Biasanya saat musim hujan datang, praktik perjudian ikut menjamur. Semakin hari semakin marak, nyaris dua puluh empat jam.
Saking mudahnya mengumpulkan uang buat siapa pun berani bertaruh. Bila kehabisan modal, mereka tinggal keluar sebentar, melakukan sedikit pekerjaan untuk dapat uang, lalu kembali lagi. Duduk mengintip kartu berharap mendapat angka tertinggi dan bisa mengambil semua uang lawan main.
Dalam keadaan seperti itu banyak utang Mamak lunas. Utang beras, sabun mandi, atau garam yang pernah dicatat pemilik warung di masa-masa sepi penumpang. Masih pula bisa menyisihkan sedikit untuk tabungan.
Keuangan lancar, Bapak tak mengamuk. Yang membuat Mamak pusing adalah pakaian yang tak kering-kering dan anak nomor sembilan yang sudah dinasihati. Nita, gadis kecil itu suka sekali bermain air hingga kakinya gatal-gatal.
Ketika hujan kembali turun, Nita sengaja dipakaikan caping, topi besar yang terbuat dari bambu. Sebagai antisipasi andai ia mengendap-endap keluar rumah. Mamak agak susah mengontrolnya, terlebih belum lama melahirkan si bungsu.
Hari itu aku memanjat pohon karsen. Mememetiki buahnya yang manis dan kemerahan. Langit mendung sejak pagi. Di bawahku terhampar pemandangan got penuh air, alirannya deras. Terlihat Mamak berteriak memanggil nama adik.
Semakin medekat, teriakannya semakin parau. Tapi Nita tak menyahut juga. Sebetulnya sejak beberapa detik lalu aku melihat benda aneh di selokan. Perasaanku mendadak kacau.
Caping.
Kontan badanku lemas. Kueratkan pegangan pada batang karsen. Ke mana Nita jika capingnya tersangkut di sana. Pikiranku berkecamuk. Di saat yang sama, tanganku justru membatu, tak mampu bergerak.
Jeritan Mamak nyaris membuat peganganku terlepas.
“Oo kodong anakku!”
Mamak berdiri di pinggir selokan, membungkukkan badannya di sebelah caping Nita. Lalu mengangkat sosok kecil yang sudah basah kuyup itu. Tubuhnya tampak lemas.
Napasku lolos setelah menahannya sekian detik. Lalu pikiranku kembali berantakan ketika menyadari jika saja Mamak terlambat beberapa menit, barangkali Nita benar-benar hanyut.
Capingnya tersangkut di celah kolong rumah sepanjang lima meter yang dibangun di atas got besar, di atas papan kayu.
Isak Mamak tak terhenti. Berkali-kali aku bersyukur, untung Mamak datang.
Pada detik itu juga aku merasa menjadi kakak yang gagal.
Baca juga:
- Dongeng Orang Kecil [Part 7] Dua Kurcaci
- Dongeng Orang Kecil [Part 6] Dua Kurcaci
- Dongeng Orang Kecil [Part 5] Beburu Pipit
- Dongeng Orang Kecil [Part 4] Mirna
- Dongeng Orang Kecil [Part 3] Pemulung Cilik
*****
Penulis,
S. Prawiro, Jakarta
Makasih Nek, sudah menyebarluaskan cerita ini
BalasHapusSama-sama cucunda, Wiro. Semoga nenek ketularan idenya. Ha ha .... Selamat berkarya. Semoga bukunya laris manis.
Hapusmain hujan, diantara "pesta" yang disenangi ketika masa kecil... Indah mengenangnya.
BalasHapusMantul ceritanya.... mengingatkan kembali masa masa kecil.
Thank you for sharing
Terima kasih kembali, Mas Tanza. Doa sehat penuh barakoh untuk keluarga di sana ya.
HapusSalam ziarah..saya follow blog ni ya..jemput ke laman Etuza
BalasHapusTerima kasih, Mas. Siap follow balik. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.
Hapuswah... kenapa membaca cerpen-cerpen di sini membuat saya merasa ini bukan cerpen, tapi seolah-olah saya ada di situ, ikut menyaksikan setiap kejadian di dalam cerita.. Imajinasi saya ikut hanyut, bunda.. hahaha
BalasHapusTerima kasih telah berkenan membacanya, ananda Naia. Doa sehat penuh berkah untukmu dan keluarga. Selamat pagi.
Hapus