Pengalaman Latihan Menulis, dapat Honor 5 Ribu, Plus Tiket Gratis ke Istana.
Nyatanya, mendekati kepala tujuh, kemampuan saya belum menunjukkan kemajuan berarti.
Zaman itu kondisi tidak mendukung untuk melanjutkan latihan menulis. Saya tak punya uang buat membeli buku bacaan. Membeli buku tulis saja untuk keperluan sekolah susahnya setengah mati.
Mengenal Majalah Sahabat Pena
Awal tahun tujuh puluhan (1973), saya mulai mengenal majalah Sahabat Pena yang terbit sekali sebulan oleh Perum Pos. Yakni, majalah khusus pelajar dan remaja non pelajar yang gemar berkoresponden. Di samping ilmu pengetahuan, Sahabat Pena juga memuat lembaran album sahabat dari dalam dan luar negeri, disertai foto dan alamat lengkapnya.
Waduh ..., asyiknya saling bertukar cerita antar sejawat yang keberadaannya di alam maya. Dari sanalah saya mulai latihan menulis. Dari sanalah pula kecanduan menulis saya terbangun.
Semenjak mengenal Sahabat Pena, sering saya makan pakai garam. Maklum, tinggal di tempat kos, mau membalanjakan duit untuk apa tiada yang larang. Kiriman orangtua saya gunakan untuk membeli perangko yang banyak. Majalahnya nebeng ke anak tetangga kosan yang kebetulan juga punya hobi berkoresponden.
Sekolah tamat, kegitan menulis maherat
Setelah lulus PGA 6 tahun, pulang ke kampung halaman yang jauh dari layanan Pos. Kurang lebih 35 kilometer, melewati jalan raya yang masih hutan blantara.
Endingnya, sekolah tamat, hobi menulis maherat. Lalu menikah, hidup melarat. Lengkaplah sudah penderitaan anak muda yang baru belajar mencari makan itu.
Sibuk dengan urusan kerja dan rumah tangga
Setelah bekerja, saya sibuk dengan urusan pekerjaan. Diselingi jadi tukang jahit sambilan untuk menambah ekonomi, mengasuh anak, plus urusan rumah tangga. Kegiatan menulis semakin tenggelam.
Rujuk ke Majalah Sahabat Pena
Tampilan dan isinya semakin bagus dan kompleks dibandingkan terbitan era tujuh puluhan. Lembaran utama yang menjadi favorit saya adalah cerpen. Lengkap dengan halaman “Pertemuan dan Catatan Kecilnya” mengupas, mengoreksi, dan mengomentari cerpen yang terbit pada edisi bersangkutan oleh pakarnya. Dari sana saya banyak belajar.
Galau mau berkirim surat ke mana
Anehnya, ide sering melintas di kepala, saya tidak mampu menuangkannya di atas kertas. Saya miskin kata-kata. Boleh dikatakan nafsu besar selera berkurang. Maklum, tidak pernah berlatih, dan jarang membaca.
Paling selain sahabat pena (tidak rutin), membaca bahan ajar dan sekali-sekali ada Majalah Suara Guru milik Sekolah.
Koran belum sampai ke desa. Sebab tempat saya mengajar belum semaju sekarang. Mula-mula bertugas di sana, ke mana-mana jalan kaki. Ke ibu kota kabupaten paling naik sepeda minjam pada orang tua murid. Jarak tempuhnya 24 km pulang pergi.
Harga majalah tidak terjangkau
Agustus 1986 tanpa sengaja oleh suami terbeli majalah “Fakta Plus”, yang memuat kisah-kisah nyata. Pada halaman ke ... berapa saya tak ingat lagi, ada notifikasi. “Kamu punya kisah menarik? Kirim ke Redaksi Fakta Plus Jalan Petamburan Nomor 1/2 Jakarta Barat Kode Pos 11420. Fakta Plus akan menyediakan bonus untuk setiap tulisan yang dimuat.”
Ide mulai mundar mandir di kepala. Mau menulis tak punya mesin ketik. Akhirnya saya tulis pakai pena di atas kertas folio bergaris. Entah berapa lembar kertas terbuang percuma.
Baru saja membaca paragraf pembukanya, terasa murahan dan tidak berbobot. Hukumnya, disobek dan dibuang. Tabiat saya memang begitu. Apa-apa yang dikerjakan ingin hasilnya perfect. Minimal menurut selera saya. Padahal, kemampuan saya memang segitu adanya.
Kurang lebih sebulan, konsep tersebut tuntas dalam dua halaman. Andaikan dibaca sekarang, pasti saya termehek-mehek sendiri.
Naskah selesai kebingungan membadai
Naskah selesai, kebingungan membadai. Seminggu lebih dokumen tersebut mengendap. Saya tak mampu menemukan judul yang pas. Akhirnya dengan percaya diri, naskah tanpa judul itu saya kirim juga ke alamatnya. Saya tak berpikir entah waktu itu majalah tersebut masih beroperasi atau tidak.
Sebab, saya tidak memperhatikan, bulan dan tahun terbit Fakta Plus yang saya jadikan acuannya saat itu. Saya juga tidak terlalu berharap naskah tersebut dimuat. Bahkan setelah dikirim, saya melupakannya sama sekali.
Bonus menulis Rp 5 ribu
Ala, Mak. Simpel dan menarik. Alangkah bodohnya saya seminggu lebih berpikir tak menemukan judul sendiri. Senangnya sampai ke tulang. Bukan tersebab nilai uangnya, tapi karena tulisan saya telah dibaca halayak se Indonesia. Itu yang tergambar di pikiran saya saat itu.
Lucunya, setelah tulisan itu terbit sampai sekarang, saya sendiri tidak pernah membacanya. Namanya majalah bekas. Mustahil setiap terbitannya dijual oleh empunya.
Mau beli baru, menjualnya di mana. Dua Toko Buku tergolong besar di kota Sungai Penuh sudah saya jelajahi. Yang satu bilang habis, lainnya menjawab kosong.
Dapat apa uang 5 ribu? Oh, lumayan. Saya belikan selimut panas merek Swallow warna coklat, harga Rp 3.500. Masih bersisa, beli ubi, dan bawang. He he ... Saat itu, kebahagiaan si penulis melimpah ruah.
Belasan tulisan berikutnya melayang ke berbagai media. Semuanya fiksi. Alhamdulillah, sebagian sukses dibalas dengan surat penolakan. Ada juga yang hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya.
Latihan menulis stagnan lagi
Tahun 1992, order menjahit semakin laris. Semenjak itu latihan menulis saya stagnan kembali. Sahabat Pena pun berangsur hilang dari daftar belanjaan bulanan. Sampai sekarang saya tak tahu lagi bagaimana nasibnya majalah murah meriah tersebut. Apakah masih terbit atau tidak.
Rajin mengikuti even menulis dan tiket gratis ke Istana
Tetapi setiap tahun saya rajin mengikuti even menulis, yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Usaha tak pernah membohongi hasil. Dari sekian banyak kompetisi yang saya ikuti, jebol ke final dua kali. Yaitu, Lomba Karya Tulis Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional.
Pertama tahun 2002. Ah, senangnya tak terkira. Dan yang paling berkesan, seluruh finalis priode itu diundang ke Istana. Bertemu Ibu Megawati dan Taufik Kemas.
Tahun 2003 kalah, 2004 masuk final lagi, Ketemu SBY di Istora (GBK). Saya berpikir, inilah honor termahal yang saya terima dari hasil latihan menulis.
Di Jakarta kedua-duanya tumbang. Tetapi saya memantaskan diri menyandang status finalis bergengsi. Saya sering dibully anak cucu. “Ah, Nenek. Dasar orang kampung. Begitu aja ngaku bergengsi.”
“Ya, ialah. Tidak semua orang dapat meraihnya.”
Setelah itu, tiga kali berturut-turut saya mengirim naskah. Ketiganya tereliminasi dan tak pernah diperhitungkan lagi. Cerita latihan menulis pun tenggelam.
Usai pensiun Agustus 2014, suntuk tak ada kegiatan. Terima jahitan, malas bin bosan. Saya kembali ke hobi lama, "latihan menulis." Dikatakan latihan menulis, karena seperti yang saya sampaikan pada paragraf awal artikel ini, di usia setua ini tulisan saya hampir tiada kemajuan dari yang dulu-dulu. Jadi saya harus banyak belajar. Caranya, dengan cara berlatih, berlatih, dan berlatih.
Demikian pengalaman saya selama latihan menulis, dapat Honornya
5 ribu plus tiket gratis ke
Istana. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- Memetik 3 Hal Paling Berharga, Pasca Mencari Dokumen Penting yang Hilang
- 7 Fungsi Kain Panjang yang Belum Sepenuhnya Terganti ...
- Sepanjang Hidupnya Manusia Diperbudak olah Perut
- 6 Tradisi Pernikahan Unik di Afrika, dari Belajar Seks Sampai Tes Malam Pertama
- Wahai Pengantin! Begini Adab Bersalaman supaya Tamu tidak Kecewa
****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
_________________
Artikel ini telah tayang di Kompasiana.com, tanggal 21 September 2018, dengan judul: Belajar Menulis dari Sahabat Pena, Honornya 5 Ribu Plus Tiket ke Istana
BalasHapusTetap semangat menulis bunda?" Saya pun pernah ikut lomba menulis dari tahun 2018 kalau dihitung sudah 15 kali namun tetap saja tak pernah menang. Sedih, justru iya namun saya tetap menulis , menulis untuk blog pribadi dulu seraya belajar menulis lebih baik. Dan, mungkin kekalahan saya diberbagai lomba lah yang menggigatkan saya untuk tidak pantang menyerah .
Kalah 10 kali dapat pengalaman 11 kali. Itu sudah merupakan kemenangan yang tida ternilai, ananda Tari. Masa depanmu masih panjang. Ayo, semangat, semangat dan semangat. Selamat sore. Terima kasih telah mengapresiasi.
Hapuswah hebat sekali..
BalasHapusbahkan di usia sekarang masih semangat menulis..
Alhamdulillah kalau sekarang bisa menyalurkan hobi menulis lewat blog ya
Amin, ananda Thya. Latihan menulis sambil menyalurkan hobi adalah misi utama saya dalam menulis. Mudah2 banyak yang termotivasi. Terutama ansk muda. Selamat sore. Terima kasih telah singgah.
HapusEmang bergengsi itu mah, tak semua orang mampu kok, dan banyak yang tidak punya rasa peraya diri melakukannya
BalasHapusNsh, itu dia. Percaya diri itu modal utama dalam setiap kompetisi. selamat sore, ananda Bondan. Terima kasih telah singgah. Soa sehat untuk keluarga di sana ya.
HapusMantap bun semangat selalu luar biasa bunda yang satu ini bak saya melihat diri sendiri perjuangan seorang ibu
BalasHapusAnanda Nita dan yang lainnya juga hebat dan luar biasa. Pintar menuangkan ide dalam bentuk tulisan. itu tidak dimiliki oleh semua orang dan patut kita syukuri. Sekecil apa pun idenya. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat sore.
HapusWaaah mantap dan meng inspirasi semangatnya😊👍👍
BalasHapusTerima kasih, Mas Warksa. Salam dan doa sukses untuk keluarga di sana ya.
Hapuskeren euyy..... bisa dua kali ke istana.... mantul
BalasHapusya, tidak semua orang bisa .....👍👍
Alhamdulillah, terima kasih telah mengapresiasi, MasTanza.
HapusCita-cita saya mau kayak ibu. tidak berhenti menulis, sampai usia berapa pun itu...
BalasHapusAmin, Mbak Mega. Jaga kesehatan, banyak minum air putih, supaya tubuh tetap sehat. Jangan pernah merasa minder bergaul dengan anak muda. Terlebih di funia maya.Terima kasih telah singgah.
HapusWah ternyata Bu Nur penulis yang hebat, sudah sampai ke Istana dan bertemu Presiden. Salam hormat Bu Nur, semangat menulis yang luar biasa dan pencapaian yang luar biasa. Menjadi teladan untuk para penulis muda, jangan pantang menyerah. Terima kasih sharingnya Bu Nur dan salam sehat.
BalasHapusSays rasa bukan tulisannya yang dinilai. Tapi idenya yang jadul. 2002 saya mengangkat cara mengajar membaca permulaan ala orang dahulu menggunakan metode bunyi. 2 hari anak2 insyaallah pandai membaca. terima kasih telah singgah Pak Eko.
BalasHapusWah pengalaman yang luar biasa bund.. rasanya menjadi kebanggaan tersendiri ya bun kalo karya kita dibaca oleh banyak orang. Dulu sempet juga pengin kirim puisi ke majalah, selain ga tau caranya karena dulu kudet banget saya juga kurang pd sama hasil tulisan saya. Salam sehat selalu ya bun.
BalasHapus"Dulu sempet juga pengin kirim puisi ke majalah, selain ga tau caranya karena dulu kudet banget saya juga kurang pd sama hasil tulisan saya. Salam sehat selalu ya bun."......> barangkali ini yang disebut kurang percaya diri. He he .... Salam sehat kembali, ananda. Doa berkah untuk keluarga di sana ya.
HapusSemangat menulis ibu Hajjah sungguh sangat hebat di usia yang mendekati kepala 7 masih tetap membara dan hebatnya sudah pernah merasakan dua kali ke istana dan bertemu dua presiden yang berbeda.
BalasHapusAlhamdulillah, modal saya hanya semangat, Mas Hermansyah. Soal ilmu lebih kecil daripada rambut dibelah tujuh. Terima kasih telah singgah. Selamat malam. Doa barokah sepanjang masa ya.
HapusSungkem dulu pada senior,, gilak baca ini serasa membaca buku sejarah hehe
BalasHapus5rb rupiah di tahun 1987 lumayan juga yah...
Behhh kerenn bisa diundang ke istana... Sekarang udah gak ada yah event kayak gitu...
Semoga deh bis ngikutin jejak bu nur
Duh, nenek ini tersanjung, ananda Fahrul. Senior dalam usia, minim dalam ilmu. Itulah diriku.
HapusSaya terharu bu membacanya. Jujur, Ibu Nur adalah salah satu panutan saya dalam menulis, khususnya blog. Menulis karena ingin melatih diri. Menulis dengan jujur sesuai dengan apa yang ada dipikiran. Beberapa tulisan ibu, karakter paragraf nya saya pelajari. Saya membaca tulisan ibu entah mengapa tidak bosan, seperti pemeilihan katanya juga, renyah. Terimakasih Ibu, besar jasamu.
BalasHapusMasyaallah ansnda Supriyadi. Nenek ini tersanjung. Rasanya tulisan ibu sangat-sangat sederhana. Diksinya miskin dan sederha. Kebetulan yang masuk final itu mungkin penilaiannya bukan bagian paparan ulasannya. Paling idenya yang jadul, sudah ditinggalkan oleh guru zaman modern. terima kasih telah mampir. Salam sehat buat keluarga di sana ya.
HapusMasha Allah Bu, keren banget!
BalasHapusPerjalanan menulis yang luar biasa nih.
Sampai merasakan bonus menulis sejak dahulu.
Sampai dapat tiket gratis ke istana.
Kalau saya sejak kecil juga suka nulis, tapi memang ga punya support sih Bu, nggak pernah dibelikan buku bacaan, apalagi majalah, bahkan buku pelajaran aja harus rela nyatat dari buku di sekolah hahaha.
Membacapun hanya bisa pinjam novel dari teman.
Jadinya keterampilan menulisnya ya seadanya.
Bahkan nggak pernah nyadar kalau suka nulis, sampai akhirnya lulus kuliah dan mengenal internet :D
Pantasan tulisanmu sangat bagus, ananda Rey. Latihannya dari kecil. Sadangkan saya sering berhenti daipada jalannya. He he ... Makanya sampai sekarang tulisan saya begini-begini saja.
HapusWaktu finalis lomba hanya kebetulan saja. Karena didukung oleh tema bahasannya yang terbilang jadul. Seamat malam, Doa sehat penuh brokah untuk cucu-cucu di sana ya.
Subhanallah, luar biasa Bu Nur. Berkat menulis sampai bertemu dengan dua presiden, baik Megawati maupun SBY. Terus salaman lagi, Ini sangat luar biasa Bu.
BalasHapusSaya aja belum pernah salaman sama kepala desa apalagi bupati dan presiden. Nasib penulis kecil.
Dapat bonus 5.000 tahun 1987 itu banyak banget ya, aku ingat tahun 1990an jajan cuma 50 dapat jajanan 3 macam.😃
Kebetulan, Mas Agus. Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut, Allah yang ngatur. Saya juga gak nyangka bisa ke finanal nasional. Tulisan saya tidak bagus. Mungkin ide bahasannya yang mendukung. Terima kasih telah singgah. Terima sore.
BalasHapus