Lika Liku Hidup: dari Takut Pelajaran Menyanyi Sampai Bisa Menulis Blog
Semasa kelas 1 Sekolah Rakyat, saya tidak termasuk murid pintar. Tetapi tidak juga bodoh-bodoh amat. Andaikan diranking per kelas, mungkin minimal masuk 3 besar. Zaman itu belum ada ranking-rankingan.
Saya terlahir dalam kondisi sempurna. Tetapi dilengkapi dengan wajah alakadarnya, sekadar memenuhi syarat. Kulit hitam, rambut tipis, tubuh kecil, kurus kering, jauh di bawah rata-rata teman sekelas. Kurang lebih sebesar anak TK, zaman kini.
Mulai tumbuh normal
Syukur, tubuh saya mulai tumbuh normal saat usia SLA. Mentok pada bobot 43 kg tinggi 150 cm. Kondisi ini bertahan sampai sekarang. Kecuali saat hamil nambah dikit. Tapi saya lupa persisnya berapa.
Yang tak pernah nambah, wajah saya yang kurang cantik. Malahan semakin jauh dari kata cantik seiring bertambahnya usia yang mendekati garis finish. He he ...
Pelajaran yang paling ditakuti
Selama kelas satu dan kelas dua, pelajaran yang paling saya takuti adalah menyanyi. Bukan tersebab tak bisa. Sampai sekarang saya malah masih suka bernyanyi di dapur dan kamar mandi. Tapi saya orangnya gerogi kalau disuruh nyanyi satu-satu ke depan kelas.
Pak Guru selalu menempatkan pelajaran bernyanyi pada jam terakhir. Barang siapa yang mau ke depan diminta ngacung. Usai bernyanyi, berarti siswa bersangkutan dapat tiket untuk pulang.
Dalam kesempatan ini saya selalu pulang paling belakangan. Namun Pak Guru tetap menagih dan tak pernah melepaskan saya sebelum utang nyanyi dibayar.
Jadi, dalam keterpaksaan saya tetap bernyanyi, walaupun dengan tubuh gemetar, lutut bergoyang. Mending tidak terkencing dalam celana. He he ...
Selain bernyanyi saya juga takut pelajaran olahraga. Sebenarnya bukan takut kegiatannya. Tapi terlebih takut dilempar teman pakai bola.
Pak guru pun tak pernah mengikutsertakan saya. Terutama saat main kasti yang menggunakan bola tenis. Sekali lemparan jika bolanya pas mendrat di dada, bisa rontok paru-paru terus pingsan. Terlebih jika yang melempar siswa laki-laki.
Terbayang bukan? Anak Sekolah Rakyat (SD) zaman dahulu. Cowoknya besar-besar tinggi. Ada yang lebih tinggi daripada Pak Guru. Cewek kelas 1, sebelas dua belas dengan siswi kelas 5 sekarang. Maklum 16 tahun pascakemerdekaan. Kalau belum tahan pukul, belum berani ke sekolah sendiri. Ha ... ha ....
Jadi, setiap jam belajar olahraga, saya kebagian jadi tukang hore. Sesekali membantu mengejar bola yang terlempar jauh di luar area, sambil menjaga keamanan kelas.
Ke sekolah jalan kaki 5 – 7 km
Untuk mencapai sekolah, siswa SR harus berjalan kaki ke kampung Celuang. Kurang lebih 5 kilometer dari kediaman kami. Bahkan siswa yang tinggalnya agak jauh ke barat, jadinya antara 6 dan 7 kilo. Perjuangan yang tidak masuk akal jika di bandingkan era sekarang.
Kebetulan dari kelas 1 sampai kelas 2, saya bersekolah di lokal jauh (filial), yang berinduk di Celuang tadi. Setelah naik ke kelas 3, mau tak mau siswa harus melanjutkankan ke Celiuang.
Di luar ekspektasi
Saya sering merenung. Kehidupan yang saya jalani saat ini sungguh di luar dugaan. Cari makan dan menua di rantau orang selama kurang lebih 75% dari usia saya.
Yang paling diluar ekspektasi, saya bisa menulis apa yang saya suka dan rasakan, serta dibaca oleh khalayak. Khususnya kalangan bloggers hebat. Salah satu artikel saya di Kompasiana, dibaca oleh 20846 warga net.
Menjalin pertemanan di duta dan dumay
Dan patut juga disyukuri, dengan segudang kekurangan yang melekat pada diri ini, Allah manugerahkan saya rasa percaya diri untuk menjalin pertemanan dengan semua kalangan. Dari dunia maya sampai dunia nyata.
Entah itu anak muda, sebaya, berpendidikan tinggi, berwajah ganteng dan cantik. Padahal semasa kecil, saya penyandang nerves berat.
Dari mereka saya banyak menimba ilmu. Kuncinya ada dua. Saya tidak malu mengakuai kekurangan dalam setiap kesempatan, dan tak segan-segan bertanya, belajar dan belajar.
Alhamdulillah, sependek pengalaman, yang ditanyai dan diminta ilmunya tak pernah pelit. Tiada juga yang membuly atau mengejek kebodohan saya.
Inilah secuil lika liku hidup saya, dari kecil takut
pelajaran menyanyi sampai bisa menulis blog dan di berbagai platform oneline. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- 5 Kerugian Mengintai Saat Orang Tua Menunggu Anaknya Belajar di Kelas
- Dahulu Layak Dikatakan Negeri Miskin, Kini Rumah Cantik Bak Jamur di Musim Hujan
- Tak hanya Anak SD, Anak Orok Pun Terperangkap Pernikahan Dini
- Begini Sistem Pernikahan Minang Khas Inderapura Yang Melanggar dikutuk Quran 30 Juz
- Cucuku Fauzan Membuatku Banyak Tahu Tentang Tuna Rungu
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
haha pulang dari sekolah kalau hujan cukup girang boleh mandi2 main hujan bersama teman
BalasHapusMandi hujan sama sensngnya dengan mandi di sungai. He he ...
HapusTerima kasih telah mengapresiasi, teman. Selamat malam.
Bebakat, biiar diteruskan
BalasHapusTerima kasih partisipasinya babYpose selamat malam dari seberang.
HapusJauhnya berjalan kaki ke sekolah
BalasHapusPasti ada keberkatannya
Zaman itu (th 60-an), sekolah termasuk barang mahal. Sekarang gedung sekolah sudah banyak.
Hapushehe... banyak yang takut nyanyi dan melukis...
BalasHapus😃😁
Siip pengalamannya.
Thanks mau berbagi
Karena saya pengidap nerves berat, Mas Tanza. He he .... Selamat malam dari tanah air.
HapusWaaahhhh, kok mirip cerita saya si Bu! :D
BalasHapusTerlahir Alhamdulillah dengan sehat dan sempurna, tapi wajah pas-pasan, hahaha.
Waktu SD kulit saya gosong, badan kurus, rambut kayak singa :D
Di sekolah harus juara 1, biarpun aslinya nggak terlalu pandai.
Paling suka nyanyi, tapi gemetar kalau disuruh nyanyi depan kelas, hanya terpaksa maju nyanyi, karena dengan begitu kita bisa pulang.
Cuman setelah STM badan saya mulai tumbuh ke atas, biar kata tetep kayak kutilang darat, hahaha.
Baru bahenol setelah lulus kuliah, dan tambah bahenol ketika punya anak :D
Mirip (pengalaman) karena kita sama2 suka nulis kali. He he ... Tapi tak ada tanda2 ananda Rey dulunya hitam. Sebab, sekarang putih mulus, cantik dan semampai. Oh, rupanya ananda Rey SLA-nya STM. Keren .... Pasti dari SD pintar Matematika. Dan semoga tetap bahenol sampai nenek-nenek. Amin. Terima kasih telah singgah. Selamat malam.
HapusEh, koq pengalamannya hampir sama bun dengan saya, mulai dari takut nyanyi, waktu SMP juga kalau sekolah harus jalan berkilo-kilo, sampai akhirnya belajar blog dan bisa bersua, bersilaturahmi dengan bunda di sini. Alhamdulillah, MasyaAllah
BalasHapusAlhamdulillah, ananda Regen. Namamu pakai Regen. Sama dengan anak bungsu bunda. Rendra Regen (37 th). He he ... Selamat malam. Terima kasih telah hadir. Salam sehat buat keluarga di sana ya.
HapusKalau saya paling takut pelajaran matematika 😂😂 waktu seperti mendadak berhenti 😄😄😄 lammmmaaaaa bngt
BalasHapusSetelah naik kelas 4 dst ... Nenek juga takut pelajaran berhitung. Terutama sefren (pecahan). He he .... Terima kasih telah singgah, ananda Dinni.
BalasHapusIkut menyimak Bu Nur..
BalasHapusSilakan Mas Warkasa. Terima kasih. Selamat pagi dari jauh.
HapusBanyak pengalaman bisa buat bahan renungan.maaf terlambat mengunjungi selamat malam bunda nur
BalasHapusBenar, ananda Nita. Bahan renungan sekaligus bahan tulisan. He he ... Terima kasih telah singgah. Selamat pagi. Selamat beraktivitas.
wah kok sama ya, gak suak dan takut nyanyi. Pernah sampai nangis saat disuruh nyanyi
BalasHapusHa ha .... Tapi setelah dewasa mungkin tidak grogi lagi ya, Mbak. Terima kasih telah singgah. Selamat pagi.
HapusAsalam..saudara dari seberang..banyak tul ranjau hidupkan..seolah baru berlaku..subahanallah
BalasHapusBegitulah orang kampung yang lahir di tahun 19 50-an, Di Malaysia mungkin beda kondisi. selamat pagi, selamat beraktivitas.
Hapusalamak kena menyanyi...pasti boleh juga kan menyanyi..orangnya ceria mesti bisa nyanyi..hehehe
BalasHapusBoleh sahabat Etuza. Tapi nyanyi di kamar mandi. He he ... Selamat pagi dari tanah seberang.
HapusMakasih sudah berbagi kisah pengalaman ibu waktu kecil dulu. Aku juga orangnya grogi kalo disuruh maju depan kelas, apalagi suruh hafal hapalan, dengkul ambo lemas Bu.😂
BalasHapusMungkin tepat dikatakan sebagai sport jantung ya, Mas Agus. He... he ... Selamat pagi. Terima kasih telah mengapresiasi
HapusBu Haji...
BalasHapusSeru sekali masa kecilnya. Klo Saya dulu suka menyanyi dan mau tampil klo nyanyi di depan kelas dan paling nggak suka sama olahraga volley soalnya ga pernah masuk kalo servis. hahaha...
Bu Haji Kompasianer juga, mantap
Artinya ananda Pipit, bukan pengidap nerves. Saya juga gak bisa main volley. Servisnya cuman semeter. He he. .. Selamat sore. Terima kasih telah singgah. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.
HapusSelalu jatuh cinta dengan kata-kata yang ibu tuliskan. Sederhana, lugas dan jelas. Nyaman dibaca dan mengalir. Nmaun tak sulit juga untuk mengimajinasikan setiap kata yang ibu Nur tuliskan. terimaskasih bu sudah menginspirasi saya
BalasHapusDuh ...., saya tersanjung, ananda Supriyadi. Bahasanya nenek2 cuman segitu. Terima kasih telah singgah. Selamat sore. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.
HapusSungguh ya mbak. Dengan menulis kita benar-benar menjadi diri sendiri. Semoga istiqomah menulis hingga kapanpun nanti
BalasHapusAmin. Setuju, Mbak Dwi. Saaat menulis pula saya merasa tak pernah tua. He he .... Terima kasih telah singgah. Selamat hari jumat Mubaraq.
HapusDulu pak guru saya juga suka banget menyanyi. Hampir setiap hari muridnya yang berani maju nyanyi di depan boleh pulang cepat. Aku sendiri nggak pernah berani maju, huhu. Akhirnya selalu pulang belakangan.
BalasHapusKok kita sama ya, Mbak. Syukur sekarang kita tidak malu memamerkan tulisan ke publik. He he .... Selamat malam. Terima kasih telah singgah.
HapusWow, Pengalaman yang luar biasa. Sudah jarang ditemui pengalaman Bu Nur di masa masa sekarang.
BalasHapusBu Nur penuh talenta , serba bisa dan mampu beradapatasi di berbagai era. Salut dengan Bu Nur. Salam sehat dan selamat beraktifitas Bu.
Woaaaah jalan kaki 5-7 km itu lumayan jauh ya bund. Aku waktu SMA, jaraknya cuma sekitar 3km dari rumah, dan itu mnggunakan angkot ehehhee
BalasHapusJika dibayangkan masa kini jalan kaki 32 km memang tak masuk akal. Tapi itu fakta pada zamannya. Kalau berangkat pagi subuh sampainya maghrib. Saya sering mengalaminya. Kadang2 bermalam di jalan. terima kasih telah singgah. Selamat pagi.
HapusBu Nur, saya tuh paling takut pelajaran kesenian sampai SMU lho ahahaha alasannya ya karena ga bisa nyanyi. Buta nada sejati.
BalasHapusAyah saya nih yang masih mengalami jalan kaki berkilo-kilo agar bisa melanjutkan sekolah. Sering diceritakan juga ke cucunya, biar jadi semangat belajar
Saya sebenarnya bisa nyanyi. Tapi groginya level parah. He he ...
HapusSemasa sekolah di PGA 4th, malah jalan kakinya 12km pp. tiap hari selama 4 th. Hanya anak orang kaya yang pakai sepeda. Selamat sore ananda Nisa. Maaf telat merespon.
Masya Allah Nek, baru tahu dulu sekolah rakyat itu siswanya harus tahan banting ya. Keren juga Nenek nulis di Kompasiana, dll.
BalasHapusTerus Berkarya ya Nek, semoga sehat selalu
Sekolahnya, jauh, ananda Teddy. 4-5 km. Makanya Masuk kelas satu orangnya tunggu gede. He he .... Selamat sore. Terima kasih telah singgah.
HapusOh, Begitu ya rupanya Nek?
HapusMasya Allah.
Sama-sama Nek
Betul, cucunda Teddy.
Hapushihi kita sama bunda... saya juga gak suka pelajaran menyanyi di depan kelas dan praktek olahraga. Tapi saya gak akan nolak kalau disuruh lari keliling lapangan, saya gak suka olahraga yang harus lempar2 bola, karena dulu sering kena lemparan bola ke kepala. duh.
BalasHapusMasyallah, badan kurus kayak kita2 ini kalau dilempar anak cowok pakai bola, bisa pingsan, He he ..... Selamat istirahat, ananda Naia. Semoga kita semua selalu dalam lindungaNya. Amin. Selamat malam.
Hapus