Pengalaman Jadi Pembuntut Emak: Disodor Tinja Sampai Dikunci dalam Kamar
Emak berpulang pada usia 72 tahun setelah kurang lebih 10 tahun menderita penyakit paru-paru. Beliau mulai berumah tangga pada usia 14 tahunan. Empat bulan kemudian ditinggal nikah oleh suaminya yang tak lain adalah ayah kandung saya. Saat itu, saya belum genap 4 bulan dalam kandungan.
Jadi, dengan terpaksa Emak menyandang status janda sebelum dewasa. Dikatakan terpaksa karena menurut pengakuan beliau, dia masih sayang pada sang suami. Sebelumnya hubungan mereka adem-adem saja. Tiada pertengkaran sekecil apa pun.
Semasa kecil, bagi saya tak ada orang yang paling saya cintai di muka bumi ini kecuali Ibuku. Sebab tiada orang lain dalam keluarga kami selain kami berdua. Nenek ikut suami barunya tinggal di desa berbeda.
Kami tinggal di sebuah rumah tua milik nenek buyutnya Emak. Meskipun hanya punya orang tua tunggal, saya terbilang bahagia. Saya tak pernah merindukan figur seorang ayah. Dan tidak minder karena tak punya ayah. Emak sangat menyayangi saya.
Sekadar kebutuhan harian kami, lumayan cukup. Bahkan tergolong mewah pada zamannya. Karena Emak pintar berdagang dan rajin bertani menanam padi di ladang. Apa yang saya minta Emak mampu membelinya.
Bagi saya, momok paling menakutkan adalah kalau Emak punya suami baru. Saya takut beliau tidak menyayangi saya lagi. Meskipun sejatinya dirinya juga pernah menikah saat saya masih batita. Zaman itu saya belum ingat kapan mereka menikah kapan pula bercerainya.
Saking takutnya, saya tumbuh menjadi anak pembuntut. Kemana Emak pergi saya selalu minta ikut. Sampai-sampai dia BAB pun saya tak mau ditinggalkan. Maklum, zaman dahulu masyarakat kampungku belum punya WC. Buang airnya di kali.
Suatu hari saya melihat Emak pergi ke arah sungai. Saat ditanya, beliau menjawab sambil berjalan tergesa-gesa, “Mau buang air.” Kemudian terus berlalu tanpa mengajak saya.
Saya menangis sejadi-jadinya sampai berguling di tanah. Namun Emak tetap pergi tanpa mempedulikan saya..
Sampai akhirnya beliau pulang saya masih tergolek di TKP berkubangan tanah. Emak bukannya membujuk saya seperti biasanya. Tapi menyodorkan gulungan kain, “Nih untuk kau,” katanya.
Bauknya busuk mematikan ikan selubuk. He he ... Ternyata didalamnya berisi secolek tinja. Subhanallah. Bayangkan aroma kotoran manusia dewasa.
Di lain kali, saya melakukan aksi serupa. Pasalnya, mau ikut Emak pergi berjualan ke Pasar Tapan (pekan tradisional). Jarak tempuhnya 32 kilometer dari kampung kami.
Uang jajan dikasih banyak. Tapi masih nangis mau ikut. Kata Emak, “Sekolah tak boleh tinggal. Nanti kau tak naik kelas 2. Tapan itu jauh. Kalau tak ada mobil Emak jalan kaki. Apa kau kuat?”
Saya tetap ngotot. Sambil
menangis saya membuntuti Emak kurang lebih 200 meter dari rumah kami. Emak berhenti di
depan rumah kakak sepupunya. Perempuan itu biasa
saya sapa Nduk.
Emak membujuk dan membawa saya singgah ke rumah Nduk. Di sana emak menambah lagi uang jajan saya. Saya tetap menangis dan menolak ditinggalkan.
Amarah Emak memuncak ke level parah. Saya diseret masuk kamar Nduk, terus dikunci dari luar. Kemudian beliau pergi. Haha ...,
Panyakit membuntut ini berakhir ketika saya hampir naik ke kelas 2 SR. Tepatnya semasa Emak menemui tambatan hatinya untuk yang terakhir dan sampai bercerai mati.
Waktu itu, suka tidak suka saya harus pasrah pada kenyataan. Menerima kehadiran ayah baru. Lumayan stress juga. Tapi apa hendak dikata.
Setelah saya dewasa, peristiwa ini sering menjadi cerita indah saya dan Emak. Tetapi sayang, saya tak pernah membeberkan apa alasan saya sampai menjadi anak degil dan pembuntut semasa itu. Saya malu. Orang mau mencari jodoh dan nikah kok dihalang-halangi. Gila .... He he ....
Saya yakin di hati Emak tak pernah tersisa rasa benci tersebap kenakalan saya zaman itu. Kecuali kesal dikala beliau berhadapan langsung dengan sikap keras kepala saya yang susah diajak kompromi.
Sekiranya waktu bisa diputar mundur, saya tak pernah bermimpi mengulangi lagi masa-masa kelam penuh konflik batin tersebut.
Belajar dari paradoksisme itu, kini saya sering berpikir sendiri, “Wajar, anak-anak yang orang tuanya berantakan, sering melampiaskan kekesalan dan ketidaknyamanannya di luar rumah. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan negatif yang tak jarang merugikan dirinya sendiri."
Sejak remaja saya bertekad sekuat upaya, agar kasus serupa tidak menimpa perkawinan saya. Tekat tersebut telah saya buktikan selama 47 tahun berumah tangga.
Bukan berarti kehidupan rumah tangga kami berjalan mulus bak jalan tol. Tidak ..., tidak ..., tidak .... Tapi saya berupaya menerima semua problem dalam segala kondisi.
Kini, peristiwa tersebut telah berlalu 60-an tahun. Emak dan Bapak sambungku telah tiada. Mereka meninggalkan kami 6 bersaudara dari sebelumnya 9 orang. Hanya saya yang beda ayah.
Kami bersatu layaknya saudara seayah seibu. Hal ini didukung oleh pola kekerabatan di Minang sana yang menganut sistem matrilineal atau garis keturunan ibu.
Selama 12 tahun kepergian Emak, saya tak pernah absen mendoakan syurga buat beliau setiap habis salat. Amin.
Demikian pengalaman menggelikan jadi pembuntut emak, disodor tinja sampai dikunci dalam kamar. Sekian dan terima kasih. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- Lika-liku Hidup: dari Takut Menyanyi Sampai Bisa Menulis Blog
- 5 Kerugian Mengintai Saat Orang Tua Menunggu Anaknya Belajar di Kelas
- Dahulu Layak Dikatakan Negeri Miskin, Kini Rumah Cantik Bak Jamur di Musim Hujan
- Tak hanya Anak SD, Anak Orok Pun Terperangkap Pernikahan Dini
- Begini Sistem Pernikahan Minang Khas Inderapura Yang Melanggar dikutuk Quran 30 Juz
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci Jambi
Semoga arwah emak aman di sana
BalasHapusAmin. Terima kasih doanya kawanku Warisan Petani. Selamat malam dari tanah seberang.
HapusHaha padan muka asyik membuntut. Kenangan yg bisa membuat kita menangis kan.. doa saya semuanya berada dilingkungan Allah swt
BalasHapusAmin. Tidak hanya menangis, tetapi juga malu. Terima kasih telah mampir, sobatku azmer. Selamat malam dari tanah seberang.
BalasHapusSelamat malam kembali
Hapuswonderful story....
BalasHapusAl fatihah untuk emak.... Aamiin YRA.
Amin. Terima kasih, Mas Tanza. Salam sejahtera untuk keluarga di sana.
HapusAl fatihah untuk Emak. Semoga diterima amal ibadah beliau, diberikan tempat terindah di sisi Allah SWT. Aamiin.
BalasHapusTerima kasih fatihahnya, Pak Eko. Doa sehat pula buat Keluarga di sana. Amin.
HapusAntara ngakak, juga terharu.
BalasHapusTerbayang banget punya anak di usia 15tahunan ya kayaknya Bu?
Tapi kayaknya di masa lalu, menikah usia segitu bukanlah hal baru ya.
Tak disangka Bu Nur masih bisa mengingat hal tersebut, saya bahkan hampir lupa dengan memori-memori kebanyakan di masa kecil, tauk deh ini, udah pikun hiks
Iya. Kalau di lewat dari 15 tahun belum pernah dilamar siap2 menerima label gadis tak laku. He he ...
HapusYang masih ingat itu kejadian penting yang mengesankan. Terutama kenangan sedih sampai membebani batin. Selamat malam ananda Rey. Selamat malming.
subhanalloh cerita yang sangat berkesan ya Bunda. Masa kanak kanak Bunda dengan ibu yang kala itu harus berjuang sendiri membesarkan bunda yang masih kecil hehe...pembuntut itu ngintil bukan ya ...mbul juga kecilnya aleman banget sama ibuku...bahasa jawanya biyungen bunda soalnya mbul lama jadi anak bungsu maunya tidur dikelonin aja sampe gede hahhaha...pas disuruh tidur sama kakak nangis aku..
BalasHapusbtw nduk itu berarti bibi ya kalau bahasa minang... mbul jadi bayangin jauh banget tempat ibunya bunda pas mau berdagang, tapi dijalanin pake jalan kaki hehe...salut sama kegigihan Alm. Ibunya Bunda...alfatihah dan doa untuk Beliau ^^
Oh, ya. Ngintil kali ya. Bahasa jawanya biyungen. Nah, ini dia bhinnika tunggal ika. He he ....
HapusRealitanya begitu, ananda Mbul. Dahulu (tahun 60-an) jalan kaki sejauh puluhan kilo adalah hal yang lumrah. Berangkat pagi sampainya sore. Bila bunda ingat derita emak zaman itu, bunda sedih dan sangat sedih. Tetapi orang lain juga seperti itu. Selamat malam minggu dan selamat tidur. Semoga mendapat mimpi yang indah.
Very interesting post!
BalasHapusThanks for sharing 😍😍
Regards:)
thanks again, buddy. thanks for the appreciation
HapusTerimakasih untuk artikelmya Bu Nur.. ikut menyimak..
BalasHapusTerima kasih kembali, Mas Warkasa. Terima kasih telah singgah. Selamat malam. Doa sehat selalu.
HapusWajar sih anak kecil takut ditinggal emaknya kawin lagi, takut nanti tidak disayang lagi. Namanya juga masih anak-anak ya Bu.
BalasHapusAntara sedih dan ngakak baca emaknya mau ke sungai untuk BAB tapi nangis, akhirnya pulangnya diberikan barang bukti.🤣
Dikasih barang bukti sebagai oleh2 yang tak pernah dijual di toko. He he selamat sore, Mas Agus. Terima kasih telah mengapresiasi. Doa sehat penuh kehangatan.
HapusMasya Allah unik juga kisah masa lalu Nenek, jadi pembuntut emak hehe 😅.
BalasHapusKetika masih kecil mungkin kita Degil, tapi ketika sudah besar akhirnya sadar.
Semangat terus Nek, semoga Ibu Nenek dimasukkan Allah ke Surga, Aaaaaamiiiiin.
Amin cucunda Teddy. Terima kasih doanya untuk ibunda tercinta. Awalnya nenek biasa2 daja. Tidak terlalu nakal. Setelah merasa ketakutan itu batin ini mulai memberontak. Selamat sore. Doa sehat pula buat keluarga di sana ya.
HapusAlfatihah untuk arwah emaknya. Semoga ditempatkan Allah bersama orang-orang yang beriman
BalasHapusAmin, terima kasih doanya, Mbak. Doa sehat pula untuk keluarga di sana. Selamat sore.
Hapus