Ilustrasi: Keuntungan Punya Orang Tua Pemarah yang Belum Banyak Orang Tahu (Sumber foto: Pexels.com/Monster. Diadopsi dari portaljember)
Marah merupakan fitrah manusia. Kata Pak Ustad, sifat yang satu ini adalah karakter dasar manusia yang tak mungkin bisa dihilangkan. Intinya, setiap manusia normal pasti punya sifat marah.
Seharusnya umat manusia ini bersyukur telah dikaruniaiNya sifat marah. Kalau tidak, mungkin bini atau laki kalian digondol orang kalian tidak juga bisa marah. He he ....
Marah tidak terkontrol
Tetapi, apa bila marah tidak terkontrol, bisa berdampak negatif bagi diri si pemarah itu sendiri maupun bagi orang lain. Makanya Rasululuuah melarang umatnya marah.
Sebab, marah itu godaan yang datang dari syaitan. Saat itulah terbuka pintu jalan masuknya setan. Karena dampak yang ditimbulkannya disenangi oleh syaitan.
Tengoklah di luar sana! berapa banyaknya bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh kemarahan. Peperangan, perbuatan anargis, dan saling bunuh semuanya berpangkal dari marah yang tidak terkendali.
Tetapi fokus artikel ini bukan ke sana. Melainkan urusan mendidik anak yang diwarnai sifat marah.
Keras dalam tanda kutip
Lazimnya, seorang ayah atau ibu yang keras dalam mendidik anak-anaknya, selalu diidentikkan dengan orang tua pemarah. Jujur, saya adalah salah satu produknya.
Supaya tidak terkesan mengumpat orang tua yang telah tiada, dalam kasus ini saya menggukan kata “keras” dalam tanda kutip. Bukan kata pemarah.
Sebab, marahnya orang tua saya dahulu masih dikategorikan terkontrol atau pada batas kewajaran. Buktinya sampai sekarang saya masih bernafas dan bisa curhat ke hadapan kita semua.
Sebagai informasi tambahan, saya anak pertama dari 6 bersaudara seibu yang masih hidup. Dahulu 9. Saya satu-satunya beda ayah. Tapi syukur alhamdulillah, ayah sambung saya orangnya baik. Yang keras itu Emak.
Keuntungan lahir dan besar dalam keluarga keras
Ternyata lahir dan besar dalam lingkungan keluarga keras, tidak semua menyisakan pengaruh negatif dalam psikologi anak. Faktanya, kondisi tersebut telah membawa keuntungan besar dalam kehidupan saya, yang patut saya syukuri. Di antaranya:
Keuntungan pertama: Saya tumbuh menjadi anak serba bisa dan tahu arti kehidupan. Mulai usia 13-an tahun saya sudah dilatih melakukan pekerjaan orang dewasa. Mencuci, mengasuh adik, memasak dan beres-beres, dengan hasilnya alakadarnya saja. Kalau tugas tidak selesai mejelang Emak pulang dari sawah, siap-siaplah menghadapi situasi terburuk.
Setelah berumah tangga, pekerjan seperti itu masalah gampang bagi saya. Saya prihatin melihat suami yang ekonominya pas-pasan, punya istri cengeng. Rutin mengeluarkan dana untuk bayar tukang cuci, nimba air sumur, sampai mencabut rumput pekarangan yang luasnya kurang dari 5 meter persegi. Padahal pemilik tubuh sehat wal afiat itu statusnya hanya ibu rumah tangga tok.
Keuntungan ke dua: Tegar menghadapi tantangan hidup. Hal ini sangat terasa setelah saya berumah tangga. Awal menikah, kami mengalami kesulitan ekonomi yang tiada tara. Namun kami bisa melewatinya meskipun dengan tertatih-tatih, berpantang merengek minta bantuan orang tua.
Oh, ya. Kebetulan saya dan suami, besar dalam keluarga yang Emaknya keras. Dia malah lebih parah. Biasa. Sama-sama orang kampung zaman dahulu, yang nyaris tidak tersentuh oleh pendidikan.
Pagi-pagi, dia harus mencangkul di ladang sekian meter persegi terlebih dahulu, sebagai persyaratan berangkat ke sekolah.
Atau tugas paling ringan, menghalau burung di sawah, mulai matahari terbit sampai burungnya sepi sekira pukul 07 seperempat. Berangkat dari rumah sekalian ngepit buku.
Peristiwa tersebut dialaminya semasa bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Padahal, perekonomian orang tuanya lumayan mampu.
Salah satu dampak positifnya, sampai sekarang doi tidak mau duduk diam di rumah. Di usianya yang ke 70 tahun masih aktif ke kebun 3 kali seminggu. Walaupun sekadar mencari keringat.
Emak tak tega
Saya tidak tega dan tidak pernah mau mewariskan didikan yang saya terima tersebut kepada anak-anak saya. Dikatakan terlalu lembek, tidak juga. Kalau mereka bandel saya pasti marah.
Syukur zaman anak-anak saya masih kecil, teknologi belum secanggih sekarang. Masyarakat Indonesia belum mengenal HP. Bahkan desa kami baru diterangi listrik pada tahun tahun 1990.
Jadi, dalam mendidik anak-anak kami hampir tiada mengalami kesulitan yang berarti. Semua mengalir apa adanya. Namun kendalinya tetap kami pegang, dengan menerapkan desiplin gas dan rem. Hal ini pernah saya ulas pada artikel 4 Trik Menghilangkan Kekhawatiran Terhadap Masa Depan anak.
Alhamdulillah, kedua anak saya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Dari remaja sampai mereka berumah tangga nyaris tak pernah merepotkan orang tua. Semasa kecil? iya. Terutama anak cowok. Sukanya main di semak-semak, berkubang di lumpur sawah, berenang di danau, dan sebagainya.
Penutup.
Ulasan ini hanya opini pribadi. Tujuannya bukan melegalkan cara kekerasan dalam mendidik anak. Tidak pula menganggap pendidikan yang keras itu pilihan terbaik bagi psikologis anak untuk jangka panjang.
Apapun alasannya mendidik anak dengan kekerasan dan kemarahan, dilarang agama dan sangat tidak baik secara sosiologis. Di sini saya hanya mencoba mengkaji sisi positifnya saja
Perlu juga dipahami oleh para orang tua, setiap generasi hidup pada zaman berbeda. Coba era sekarang anak-anak dibebankan tugas rumah tangga seperti saya duhulu, siap-siaplah sang pengeluar perintah berurusan dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Terakhir, dari hati yang paling dalam, saya nyatakan bahwa saya tidak pernah berkecil hati terhadap al marhumah ibunda tercinta, atas aturan yang beliau terapkan kepada saya dahulu.
Kalau bukan karena didikan beliau tidak mungkin saya seperti sekarang ini. Hanya doa yang bisa saya kirimkan untuknya setiap selesai salat. Semoga Ibuku damai abadi di dalam syurga.
Demikianlah keuntungan punya orang tua keras yang belum banyak orang tahu. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
Baca juga:
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci Jambi
Lebih tepatnya orangtua yang tegas hhehehehe. Kalau bandel dikit langsung tegas beliau
BalasHapusBenar, Mas. Maklum orang dahulu. Mendidik anak tanpa teori. Selamat sore. Salam hangat selalu.
HapusWaah ternyata ada juga keuntungan punya ortu pemarah ya Bu Nur.. hehehe salam inspiratif
BalasHapusBetul, Mas Warkasa. Segala sesuatu pasti ada sisi positif dan negatifnya. Selamat sore, salam literasi.
Hapussetuju...
BalasHapustulisan bermanfaat...
Terima kasih tanggapannya, Mas. Doa berkah untuk keluarga di sana.
HapusBener banget bu. Ortu tegas itu bikin anak jadi terdidik. Tapi ya nggak setiap hari marah juga.hehe
BalasHapusBetul, Mbak. Saya bisa bersahabat dengan ana. Tapi bisa juga marah. Selamat sore, Terima kasih telah mengapresiasi.
HapusSaya selalu bercerita dengan anak-anak, dahulu selepas pulang dari sekolah saya membantu ibu bapa bertani, mengangkut air dan mengumpul kayu api. Lantas anak saya menyahut: Kenapa tidak suruh kami cari kayu api? Aduhai anak, rupanya kamu tidak bisa menangkap nilai dan pengajaran dalam cerita-cerita ibumu.
BalasHapusHaha .... Anak-anak sekarang mana tahu mencari kayu api. Menimba air. Tahunya, makan, tidur, duit. Tapi syukur penderitaan emaknya tidak menular ke anak. Kasian. Terima kasih telah singgah, temanku Amie. Doa sejahtera untuk keluarga di sana.
HapusSaya setuju dengan opininya bu nut, soalnya orang tua saya juga rada keras sihh orangnya
BalasHapusKeras sedikit tidak apa2, ananda Alul. Demi kebaikan anak2nya. Orangbtus terlalu lembek, membuat anak2 berlaku sekehendaknya. Terima kasih telah singgah. Drlam hangat untuk keluarga di sana.
Hapustiap-tiap zaman berbeda cara mendidik anak tapi dasarnya tetap sama. saya tak berani nak beri pendapat lebih kerana belum ada anak. Ibu ayah saya pun bukannya keras sangat tapi Alhamdulillah kami semua berjaya. kalau ada yang degil sikit antara 6 beradik mungkin saya sahaja. hehe
BalasHapusDuh, bangga ya. Punya banyak daudara. Saya punya anak cuman 2. Kini keduanya sudah beruah tangga. . syukur snanda Sal agak degil. Supaya keluarga bervariasi dan ramai. He he ... selamat sore dari seberang.
HapusSepertinya lumrah kalo orang jaman dulu itu mendidik anaknya secara keras, maklum hidup saat itu susah, buat makan juga harus benar-benar kerja keras, jadi mereka mendidik anak secara keras agar kuat.
BalasHapusDulu aku tiap bikin kesalahan bapak saya selalu jewer telinga, kalo berantem sama teman, bukannya dibelain bapak tapi malah disabet pakai bambu kecil.😂
Mungkin karena zaman dulu pendidikan masih dipengaruhi oleh sistem kolonial ya, Mas Agus.
HapusPersis sama, Mas. Kalau berantam bukan orang tua bukan membela kita. Tapi disalahkan. Begitu juga kalau diimarahi guru. Tak berani ngadu pada orang tua. terima kasih telah mengapresiasi. Selamat malam.
👍👍👍
HapusLebih tepatnya tegas ya nek, saya setuju dengan ulasan nenek 👍👍👍
BalasHapusIntinya begitu ya, ananda. Dinni. Selamat malam minggu. Terima kasih telah mengapresiasi.
HapusTerima kasih Nek ulasan nya
BalasHapusTerima kasih kembali, ananda. Apa kabar. Selamat malam. Salam sejahtera selalu.
HapusTeddy termasuk anak yang punya didikan keras Nek. Ibu juga termasuk pemarah, tapi berkat itu Teddy bisa ngaji dan Shalat.
BalasHapusIya. Nikmat dan manfaatnya terasa setelah kita dewasa., ya cucunda. Terima kasih telah singgah. Doa sukses untukmu selalu.
HapusAda betulnya, mungkin bisa saya coba saat saya berkeluarga..
BalasHapusSilakan dipraktikkan, Mas. Tapi ingat. Memarahi anak itu ada batasannya. Terima kasih telah singgah.
HapusNgerasain banget jadi anaknya orang tua yang tegas, dan disiplin banget. Kadang bete banget tapi yaaa sebetulnya memang ada banyak manfaatnya.
BalasHapusTerima kasih tanggapannya, Mbak Mutiara. Selamat siang.
BalasHapus