4 Alasan Orang Tua Menolak Rumahnya Dibongkar
Sebagian pasangan muda pedesaan, khususnya di Kerinci membangun rumah merupakan target utama yang bersifat materi, setelah tercukupi kebutuhan pangan.
Duit punya. Tetapi sekadar membangun rumah saja, tidak cukup untuk membeli tanah. Orang tua sering mengalah. Dia rela menggeser rumahnya kebelakang, bahkan diberhanguskan. Tanahnya dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Meskipun tidak semua Emak dan Bapak yang bersikap begitu.
Pagi tadi, sambil jalan pagi ke perbatasan desa, saya dicurhati oleh nenek-nenek teman sejamaah. Katanya dia sering bewasiat kepada anak-anaknya, kalau rumah yang dia bangun bersama almarhum suaminya tak boleh dibongkar, tak boleh diganti baru oleh siapapun, apalagi dijual.
“Saya bilang ke anak-anak yang belum punya rumah, ‘kalau kalianmau membangun, silakan di lokasi A, B. atau C. Saya kasih gratis. Rumah saya jangan diapa-apakan. Mana tahu di antara anak cucu saya nantinya ada yang tidak mampu,’ ” katanya panjang lebar.
Duh, sebegitu khawatirnya orang tua terhadap keturunannya. Hingga nasib cucunya sekian tahun ke depan dia ikut memikirkannya. Begitulah cara pandang rata-rata orang Indonesia.
Apa yang Dikhawatirkan teman saya itu memang masuk akal.
Alasan pertama, Orang tua menolak rumahnya dibongkar, usia hanya Tuhan Yang menentukan
Tiada seorang pun yang bisa menentukan apa yang terjadi di masa mendatang, saya meninggal di mana, dalam usia berapa tahun.
Andaikan Orang Tua (pemilik rumah) diberikan umur panjang, terpapar pikun dalam waktu yang lama, diam di rumah sendiri adalah pilihan yang nyaman. Kecuali jika tergeletak sakit tidak mampu melakukan apa-apa.
Tinggal serumah dengan anak menantu itu terikat. Entah mereka marah sama ayam atau kucing, orang tua tersinggung. Apalagi sampai diplototi. Masalah pernah saya ulas pada artikel 5 Alasan Orang Tua Enggan Tinggal Bersama Anak.
Alasan ke dua, Orang tua menolak rumahnya dibongkar, nasib anak cucu tidak sama
Garis hidup anak cucu tidak sama. Ada yang berekonomi mampu, ada pula yang kurang beruntung. Jangankan membangun rumah, untuk makan sehari-hari saja Senin-Kamis. Andaikan orang tua atau kakek neneknya tidak mewariskan rumah, kemana mereka akan berteduh.
Jadi ingat keluarga orang tua angkat saya, di desa tempat saya pertama mengajar dahulu. Satu rumah dihuni oleh 3 keluarga. Ditambah saya jadi 4 keluarga.
Mereka adalah sebagian dari anak cucu almarhum sang pemilik rumah, yang notabene orang kaya sekampung pada zamannya. Mereka-mereka ini belum punya tempat tinggal sendiri.
Untungnya rumah berdinding papan tersebut besar. Kamarnya ada 3. Masing-masing luasnya tak kurang dari 5 x 7 meter (mudah-mudahan saya tidak salah taksir), plus 1 ruang depan yang sering digunakan anak-anak main bola dan belajar naik sepeda.
Saya bergabung dengan penghuni tertuanya. Janda 60-an tahun, punya 1 anak perempuan yang juga janda 2 anak usia SD. Kami menempati kamar depan, ukuran lebih jumbo.
Kami memasak pakai kayu bakar. Ruang dapurnya kurang lebih 7 x 7 meter, di luar rumah induk. Kungkungan abu tempat tungku penjerangan ada 2. Yang satu memuat 3 tungku. Yang lainnya 2 tungku.
Coba rumah tersebut dibongkar, terus diganti baru oleh saudara-saudara mereka yang berduit, kemana golongan si kurang mampu itu akan bernaung.
Kini, rumah tersebut merana dengan kesendiriannya. Seperti sangkar ditinggal burung. Para penghuninya dahulu, telah pindah ke rumah barunya masing-masing.
Alasak ke tiga, Orang tua menolak rumahnya dibongkar, di pedesaan rumah adalah harga diri keluarga
Punya duit berkarung-karung sekalipun, kalau tidak mewariskan rumah untuk keturunan, namanya belum lengkap syarat seseorang menjadi orang tua. Kecuali tidak punya benaran. Ceritanya akan lain.
Mending rezeki anak cucunya baik-baik saja. Kalau agak nyendat? Kasian bukan? Tak salah teman jamaah saya tadi mengingatkan anak-anaknya supaya rumahnya kelak tetap dipelihara, sampai menjadi barang pusaka.
Alasan ke empat, Orang tua menolak rumahnya dibongkar, ngontrak bukan solusi
Di pedesaan tempat saya berdomisili dan sekitarnya, tinggal di kontrakan bagi penduduk asli bukan solusi. Mereka akan bangga tinggal di rumah warisan, sejelek dan sekecil apa pun. Lain cerita dengan kaum pendatang seperti saya.
Beda dengan masyarakat perkotaan. Setelah anak-anaknya menikah, tinggal di kontrakan adalah hal biasa. Mengindikasikan bahwa keluarga baru tersebut telah siap lahir dan batin untuk menjalani bakhtera rumah tangga.
Penutup
Bagaimanapun, ada plus minusnya. Numpang di tempat mertua atau tinggal di rumah warisan, punya kebanggan tersendiri. Namun membuat anak-anak kurang mandiri, lambat dewasa.
Sebaliknya, kalau dibiarkan mereka menetukan langkah sendiri, setelah menikah mau ngontrak, tinggal di gubuk sawah, memberikan kesempatan buat mereka menjalani ujian hidup yang sesungguhnya. Suatu saat mereka akan tahu arti kehidupan yang sesungguhnya. Bagaimana menurut kalian?
Demikian Ini 4 alasan orang tua menolak rumahnya dibongkar. Tema ini diangkat berdasarkan kaca mata masyarakat di sekitar saya. Mungkin di daerah kalian kondisinya jauh berbeda. Terutama di wilayah perkotaan. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- 5 Prahara Tentang Teman Kecil, No. 2 Rata-rata Pelakunya Oknum Cewek
- Hore ...! Acara Arisan tak Sesuai Harapan, Sajian Licin
- Keuntungan Punya Orang Tua Pemarah
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci Jambi
Rumah pusaka memang harus dikekalkan
BalasHapustempat berkumpul adik beradik bila ada kelapangan
Sepakat, Wak. Rumah warisan disebut juga rumah tua. Terima kasih telah singgah.
Hapusorang tua selalu berusaha memberikan solusi terbaik buat anak anaknya meskipun keputusan tersebut kadang mendapat pertentangan dari anaknya sendiri. yah begitulah dinamika kehidupan.
BalasHapusSepakat, Mas. Demi anak mereka melalukan yang terbaik menurut mereka. selamat malam. Terima kasih telah mengapresiasi.
Hapussebenarnya, orang baratpun mirip dengan kita, dimana rumah dan tanah adalah warisan paling berharga....
BalasHapuscuma, anak anak muda, seperti anak saya, tidak mau harta orang tuanya, karena kesempatan untuk sukses "terlalu banyak".... asal mau saja: kerja keras, belajar keras, membangun networks dsb...
# Cerita menarik..... thank you for sharing
Anak mandiri tidak akan mengharap harta orang tua, apalagi dia telah sukses. Ini patut disyukuri oleh orang tua. Selamat malam, Mas Tanza. Salam hangat dari tanah air.
Hapussalam kembali....
Hapusrumah orangtua adalah rumah kenangan masa kecil, kalau dibongkar, rasanya kenangan2 itu hanya tinggal mimpi. Tetapi tak jarang setelah satu persatu anak ikut keluarganya, orangtua sudah tiada, rumah kosong tak berpenghuni, akhirnya rusak tak terawat, dijual pun merasa sayang
BalasHapusBetul, Naia. Seperti bunda yang merantau ini dan tak punya rumah sendiri di kampung. Kalau pulang bisa ke rumah orang tua. Coba kalau dahulunya dibongkar, amit2 mau pulkam. Malu numpang di rumah saudara. Segan pada suami atau istrinya. Terima kasih telah mengapresiasi ananda. Doa sehat untuk cucu2 di sana ya.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBagaimana pun pendapat orang tua wajib kita hargai.
BalasHapusUntuk kawasan desa di mana masih banyak lahan kosong dan orang tua banyak yang memiliki tanah luas hal seperti ini wajar. Meskipun tetap memerlukan perhatian untuk pemeliharaan agar tidak membahayakan lingkungan.
Terima kasih Bu Nursini untuk artikel bermanfaat ini.
Hormat saya.
Terima kasih kembali, Mas Pudji. Artikel nenek 2 kampung yang hanya berkutat tentang masalah sosial di kampung. Terima kasih juga telah mengapresiasi. Doa sehat untuk keluarga di sana.
Hapusyang susah sih kalau rumah orang tua diberantemin untuk dijual
BalasHapusIni sikap yang tidak baik ya, Mas Rezky. Andai orang tua telah tiada, jadi azab bagi orang tuanya dalam kubur.
HapusBegitu bijaksananya orang tua yang bahkan kelangsungan hidup cucu keturanannya masih difikirkan.
BalasHapusRumah pusaka begitu banyak memorinya
Betul, ananda Dewi. Kadang2 anak kurang memahami hati orang tua. Gara2 harta malah berantam antar saudara. terima kasih telah singgah. Selamat malam.
Hapusmemang kadang kadang yang dipengenin orang tua ya kita harus maklumi. Kalau tempat mbul yang masih tradisional apa adanya ya rumah keluarga suami. Masih rumah joglo klasik soalnya depan depannya rumahnya keluarga mbahnya ibunya suami. Kalau rumah bapak ibunya mbul justru sudah modern. Soalnya dari awal rumah tangga bapak ibunya mbul ga ikut orang tua alis mandiri. Kalau mbul sekarang sama pasangan juga urip mandiri di rantau orang hehe
BalasHapusPunya rumah joglo klasik? Berarti suami Mbul keturunan bangsawan. He he ...
HapusYa, enaknya kita bisa mandiri. Minimal punya rumah sendiri. Tidak tergantung pada rumah warisan. Pasangan muda zaman now di desa bunda umumnya punya rumah sendiri. Namun sebagian orang tua tetap juga khawatir kalau cucunya kelak tak nampu bikin rumah. Makanya beliau2 itu tidak boleh rumahnya dibongkar.
Oh, ternyata Mbul juga tinggal di rantau.
Terima kasih telah singgah. Selamat malam, selamat istirahat.
wakakka....nda bunda...bukan bangsawan mah...malah beliau lebih sederhana dari keluarga Mbul..cuma memang orangnya kerja keras...jadi kami sama sama mulai dari nol bunda hahahha...sebenarnya satu SMA dan istilahnya tetangga desa cuma beda kabupaten saja hehehe
Hapusudah 8 tahun usia perikahan kami Bunda hahhaah
Alhamdulillah. Pernikahan bunda 48 tshun kurang 4 bulan
Hapus