Dulu, Demi Kue Lebaran Ayam Dipaksa Bertelur, Kini Duit, Duit, dan Duit
Kemajuan zaman, mengubah gaya hidup dan kultur masyarakat. Hal ini terlihat dalam banyak hal. Salah satunya tradisi menyambut lebaran Idul Fitri.
Era 60-an saat mendekati puasa Ramadhan, ibu-ibu rumah tangga (termasuk almarhumah emak saya), mulai menyiapkan bahan untuk membuat kue. Tradisi ini berlaku di kampung-kampung, khususnya di tempat saya daerah terujung Pesisir Selatan Sumatera Barat Sana.
Memaksa ayam bertelur
Di antara bahan yang mereka anggap paling penting adalah telur. Jika ayam bertelur sekitar pertengahan Syakban, tak bakalan diberi kesempatan untuk mengeram.
Supaya tidak cepat rusak, telur-telur itu disimpan dalam wadah terbuka yang beralaskan beras. Jangan harap minta sebiji untuk disambal. Paling jika ada yang retak atau pecah.
Habis, jumlahnya terbatas. Jika kebetulan terkumpul banyak, sebagiannya dijual. Uangnya untuk membeli bahan-bahan yang lain.
Kadang kasian hewan-hewan piaraan tersebut. Mereka seakan dipaksa bertelur sebelum masanya. Pagi-pagi ditangkap dari kandangnya, dibawa ke sungai. Terus dimandikan dengan cara dicelup ke dalam air hingga terbatuk-batuk. Ha ha ... Katanya supaya cepat bertelur.
Tak tahu seremoni memandikan ayam itu sumbernya dari mana. Ritual ini sudah berlaku lama dan turun temurun di tengah masyarakat setempat. Belum ada bukti ilmiah apakah praktik tersebut membuahkan hasil sesuai keinginan, atau sekadar mitos belaka. Allahu alam bish shawab.
Tepung dan minyak goreng
Bahan-bahan yang lain pun disiapkan jauh-jauh hari. Seperti tepung beras, tepung sagu, tepung beras ketan, minyak goreng, dan sebagainya.
Tepung-tepung tersebut ditumbuk manual pakai tangan menggunakan lesung dan alu. Kemudian dijemur pada terik matahari. Tinggal beli material lain yang tidak bisa dibuat sendiri, seperti gula, terigu, tapioka dan lain-lain.
Bukan tersebab pelit, kondisi yang memaksa. Masyarakat belum kenal tepung beras rose brand seperti sekarang, tak pernah tahu dengan telor ayam ras yang mudah diperoleh dengan harga terjangkau. Sekiranya ada, mungkin Emak tak punya banyak uang untuk membelinya.
Kala itu minyak goreng yang beredar di pasaran terbuat dari santan kelapa, dijual di pasar tradisional per botol bir. Saya masih terbayang cara pedagang mengeluarkannya dari jeriken. Menggunakan pompa kecil sebesar suling, terbuat dari seng. Sekarang saya merindukannya. Ha ha ....
Harganya (migor) relatif mahal. Susah terjangkau oleh dompet. Emak sering membuatnya sendiri. Prosesnya lama, butuh kayu bakar yang banyak. Seharian di tungku perapian belum tentu dapat satu botol bir. Tak heran, orang kampung saya pada zamannya lebih familiar dengan sambal berkuah santan, daripada menggoreng.
Kue tradisional dan momen bahagia
Camilan lebaran yang tak pernah ditinggalkan Emak adalah kue tradisional kembang loyang (kembang goyang), keripik pisang, dan arai pinang. Bolu juga ada, tetapi tidak banyak. Yang langka itu kue berbahan pokok mentega. Sebab mentega termasuk barang mahal. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu membelinya.
Bagi saya, bantu-bantu emak membuat kue lebaran merupakan momen paling bahagia pada masanya. Setelah matang rasanya mau dikunyah semua. Maklum, ketemu penganan begitu waktu hari raya saja. He he ....
Tidak seperti sekarang. Dengan duit dua rbu perak, anak-anak sudah dapat sepotong bolu di warung-warung. Saat hari raya, kue lebaran tiada spesial bagi mereka, malah dicuekin. Ulah cucu saya, kadang-kadang digigit sedikit lalu dia buang. Mulut nenek ini jadi tong sampahnya. Habis lebaran, kolesterolnya melangit.
Tunggu di alamat
Dunia digital telah mengubah kultur masyarakat. Kini hidup bisa dibuat mudah. Barang-barang kebutuhan pokok masayarakat perkotaan semuanya dapat dibeli di desa. Malas bikin kue lebaran? Tinggal telepon. Dalam waktu yang disepakati, kue mendarat di rumah konsumen.
Pilihannya bervariasi. Yang murah ada, kelas elit bejibun. Alhamdulillah, dibandingkan masa kecil saya, sekarang duit tidak terlalu susah dicari. Yang penting mau kerja dan berusaha.
Beli baju lebaran? Tinggal colek aplikasi. Pilih belanja di Jakarta atau Surabaya. Tentukan modelnya, klik, transfer duit, tunggu di alamat. Kurang apa lagi? Pokoknya duit, duit, duit, dan duit.
Makanya hidup zaman kini dituntut kreatif supa bisa cari duit. Terutama kita-kita kaula muda. He he .... Tidak seperti saya, nenek-nenek manula yang telah mati selera. Jangankan pengen beli itu dan ini, rasa gula pun saya hampir lupa. Ha ha ....
Sudah sembilan kali Idul Fitri, saya tak pernah lagi membuat kue lebaran. Cuman menunggu dari anak menantu. Untuk apa sibuk-sibuk bikin kue. Makannya tidak seberapa. Paling kalau ada tamu.
Beginilah kisah membuat kue lebaran ayam dipaksa bertelur hingga semua serba duit, duit, dan duit, Semoga inspiratif.
Baca juga :
- Jarang Diperhatikan, Ini Alasan Kakek Ditinggal Mati Istrinya Menikah Lagi
- Simak, Apa Kata Ibu dan Anak ini Tentang Profesi Dagang
- Wow ..., Hebohnya Tradisi Ptang Balimau di Muara Sakai Inderapura
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci Jambi
waktu kecil di kampung, disuruh emak keliling rumah ke rumah membeli telur ayam..... hehehe
BalasHapusSweet memory....
Sepertinya dahulu bukan di kampung saya saja yang mendewakan telur ayam kampung untuk membuat kue lebaran ya, Mas Tanza. Selamat sore dari tanah air.
Hapus👍😁👍
HapusDi rumah orang tua juga ada alat pencetak kue bikang dan apem, yang bahan bakarnya arang.
BalasHapusSudah lama tidak digunakan karena apem dan bikang mudah diperoleh di lapak atau toko jajanan tradisional.
Kalo perlu karena ada hajat keluarga pun tinggal pesan.
Benar kata Bu Nur yang penting ada duitnya.
Terima kasih Bu Nur.
Sehat selalu.
Hormat saya
Ha ha .... Di kampung saya bukan pakai arang, Mas Pudji. Pakai sabut kelapa. Musim bikin kue lebaran, asap penuh sesak sepenuh rumah. He he ....
HapusAda juga batu giling penumbuk beras ketan yang sudah disangrai, untuk membuat kue sangko, Mas Pudji. Beratnya minta ampun. He he. Sekali masuk berasnya 1 sendok. Lama banget. Sekarang tidak ditemui lagi. Semua pakai mesin.
Jadi ingat waktu kecil dulu hehehe.. saat jelang lebaran seperti ini dulu sudah tercium aroma kue-kue lebaran yang dibuat sendiri oleh ibu dan KK di rumah, dan ini malah menjadi semacam pembeda dari bulan-bulan di luar Ramadhan.
BalasHapusTerimakasih untuk artikel nya Bu Nur, sudah kembali mengingat kan masa-masa indah di masa lalu.
Salam hangat🙏
Kini semuanya tinggal kenangan ya Mas Warkasa. Kita telah sibuk di tengah zaman yang berdeda dan bermanja manja dengan kemajuan teknologi. Selamat sore. Selamat menunggu waktu berbuka.
Hapuskalo di bandingkan jaman dulu sama sekarang jauh banget yah, dulu itu juang usahanya ada banget, bahkan yang membuat kangen berjuangnya itu, apa apa di lakukan manual, kalo sekarang semua udah modern, harusnya sih tetep bersyukur yah karna jadi mudah :D
BalasHapusmemang kalo dulu kenanganya ada banget.. sekarang pun nantinya akan jadi kenangan buat anak cucu :D
Sepakat, Mas Khanif. Semuanya jadi indah pada zamannya. Tergantung kita menyikapinya. Kuncinya ya, bersyukur dengan kemudahan yang kita nikmati. selamat pagi. Terima kasih telah mengapresiasi.
HapusJadi keinget lebaran pas masih ada nenek. Rame banget banyak saudara-saudara yang datang. Sekarang sepiii...
BalasHapusOh yaa saya baru tahu Bu kalau ada kebiasaan memaksa ayam bertelur 😅
Kasian tapi ya gimana ya hehehe
Kasian memang. Ayamnya sampai terbatuk2. He he ....
HapusBetul Mbak Mutiara. Kebersamaan dengan nenek itu asyiknya luar biasa. Terima kasih telah mengapresiasi. Doa sukses untuk keluarga di sana.
aku dari jaman kecil sampai skrg punya anak masih konsisten bikin kue untuk lebaran dong.. hehe.. kayak ada yg kurang aja rasanya kalo gak bikin kue.. tapi kue2 yg dibikin semacam nastar, kastengel gitu sihh bukan kue basah
BalasHapusIya, Mbak. Rasanya kurang afdhal berlebaran tanpa kue, terutama kalau punya anak kecil dan emaknya masih muda. Udah seumuran saya, di rumah gak punya siapa2 selain berdua ma suami. Eh ...., mslas deh bikin kuenya. Terima kasih, mbak telah singgah. Ya.
HapusWah rupanya gitu ya Nek? Zaman dahulu Ayam-ayam dieksploitasi untuk memenuhi bahan kue lebaran😁. Baru tahu Teddy nih.
BalasHapusZaman yang berubah memang mempermudah segala hal ya Nek hehe, suka kue lebaran apa aja nih Nenek?
Sekarang manusia dimanjakan oleh teknologi. Cari duit pun tidak terlalu susah. Alhamdulillah, Nenek dapat menikmatinya. he he .... Meskipun di usia tua.
Hapuskejam ya,
BalasHapuskata orang tuaku, jaman dulu telur itu sangat berharga dan seperti makanan mewah kalau di desa.
makin ke sini, dunia semakin praktis dan serba cepat. Mungkin sekarang adalah era masa depan impian ilmuwan jaman dulu.
kita yang sekarang malah ngayal lagi soal masa depan.
Tanpa disadari, manusia terus menciptakan kehidupan bagaikan surgawi.
Berharga banget, ananda. Mending kalau punya telur untuk dimakan. Mirisnya, telur dijual, uangnya untuk beli singkong. Ha ha ..
Hapus