Pengalaman Mengajukan Pinjaman di Bank Sampai Nangis Sambil Menggendong Anak
Pengalaman Mengajukan Pinjaman di Bank Sampai Nangis Sambil Menggendong Anak. Kisah ini ditulis untuk mengenang suka duka memenuhi kebutuhan di tengah kesulitan keuangan.Tamu Berpakaian Rapi
Seminggu lalu rumah kami didatangi seorang pemuda berpakaian rapi. Ia mengenalkan dirinya sebagai karyawan sebuah Bank ternama di ngeri ini.
Setelah berbasa basi alakadarnya, karyawan tersebut menyatakan maksud kedatangannya. Dia menawarkan agar suami saya mengajukan pinjaman, dan minta kakek yang akrab disapa Uut itu datang ke kantor cabang Sungai Penuh, Kerinci.
Rugi tidak minjam, Pak. “Andai Bapak meninggal, utang di bank dilunasi asuransi. Bukan tanggung jawab ahli waris, ” katanya.
Saya berseloroh, “Saya tak mau uang banyak asal cowok gantengku tidak mati.” Pemuda ganteng itu tertawa.
Semoga Uut tak Tergoda
Setelah tamu itu pergi saya mengingat Uut, supaya dia tak tergoda dengan tawaran tersebut. Sudahlah. Usia telah mendekati garis finish. Hari sudah sore. Tutup layar untuk ngumpul duit.
Urusan dan tanggung jawab terhadap anak-anak telah selesai. Mereka sudah punya kehidupan masing-masing. Sebelum ajal datang menjemput, mari kita kunyah saja rejeki yang ada.
Sering Dikunjungi Petugas Marketing Lapangan
Bukan sekali dua kali kami didatangi tamu begini, dari bank yang berbeda-beda. Begitulah cara bank zaman now memasarkan produknya.
Jadi Nasabah Bank Era 80-an
Jadi ingat saat pertama menjadi nasabah bank tahun 80-an. Dapat pinjaman Rp 50 ribu, total pembayaran Rp 53 ribu, jangka 10 bulan. Sangat ringan menurut saya. Lama kelamaan, bunganya kian naik.
Puncaknya, tidak hanya bunganya yang melonjak, cara memperolehnya pun supersusah. Persyaratannya segudang, urusannya berbelit-belit.
Lokasi bank Unitnya jauh. Di Desa Pulau Tengah, Pinggir Danau Kerinci bagian barat. Kediaman saya di seberangnya (sebelah timur).
Untuk ke sana harus keliling, dua kali naik mobil. Ke kota Sungai Penuh dulu 15 km. Dari Sungai Penuh balik ke belakang via jalur berbeda 20 km. Transportasi belum lancar seperti sekarang. Hanya orang-orang tertentu saja yang punya motor. Kami baru mampu beli sepeda bekas.
Bolak balik ke kantor Bank. Disuruhnya datang tanggal sekian, tahu-tahu ditunda besoknya lagi. Tunda lagi besoknya lagi. Intinya tak ada kata pasti yang bisa dipegang.
Saya pernah menangis keluar dari kantor bank tempat saya mengajukan pinjaman. Sambil bawa anak pula, yang saat itu usianya 2,5 tahun. Sesekali dia minta gendong. Saya lelah dan sedih, serasa dipermainkan.
Memilih Jalan Siluman
Untuk memudahkan urusan, banyak nasabah termasuk saya kadang-kadang memilih jalan siluman. Tergantung kesepakatan.
Mirisnya, ada pula bank yang dirayapi oleh oknum liar. Dia berperan sebagai perantara, supaya pinjaman cepat diproses. Setiap nasabah yang berurusan dengan dia, makbul seratus persen.
Sedih bukan? Sudah bayar bunga tinggi, ada uang kelengkang-pengkongnya lagi. Habis, mau bagaimana lagi. Semua karena keterpaksaan.
Rata-Rata PNS Minjam Uang Bank
Dikala itu, di daerah kami rata-rata PNS minjam bank. Peruntukannya bervariasi. Mulai membangun rumah, sampai biaya kuliah anak, urusan cari kerja anak. Bahasa khususnya ny***ok, dan sebagainya.
Intinya, jika butuh uang ratusan ribu rupiah, tiada tempat mengadu selain rentenir atau bank. Maklum gaji cuman puluhan ribu.
Kondisi Berubah Seratus Delapan Puluh Derajat
Mohon maaf, pengalaman ini “40-an tahun lalu”. Sekarang kondisinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Dahulu nasabah yang mencari bank, melobi, kalau tak mau dikatakan mengemis pada oknum pegawai bank, sampai mengadakan kunjungan pribadi segala.
Kini malah sebaliknya. Bank yang mengunjungi nasabah. Jangankan oknum liar yang mencari kesempatan untuk masuk ke ranah pinjaman nasabah, orang dalam pun belum tentu berani macam-macam. Begitu pinjaman cair, langsung masuk rekening peminjam.
Asalkan mau berutang di bank, ajukan permohonan, lengkapi persyaratan, tunggu di alamat. Tak harus lobi melobi. Pada waktunya panggilan akan datang. Rata-rata bank pelayanannya bagus, pegawainya bersahabat.
Bermacam-macam kredit dengan bunga ringan diluncurkan untuk membantu masyarakat yang mau berusaha. Tanpa anggunan, tanpa menyertakan daftar gaji bulanan.
Penutup
Kurang enak apa lagi jadi warga negara Indonesia tercinta ini. Masih memelihara keluh kesah? Tanyakan pada diri. Apanya yang kurang.
Demikian pengalaman mengajukan pinjaman di bank 40 tahunan lalu. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- Kenama Nama Baik Ayah Sangat Penting Dalam Sebuah Keluarga
- Sekali Klik Foto Langsung Jadi. Nunggu 3-4 Bulan? Kuno
- Begini Ritual Ngopi Meramal Nasib yang Tetap Eksis di Kerinci
****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
oh, keren kondisi sekarang ya....👍👍👍
BalasHapusJadi ingat Ayah yang sulit minjam uang di bank tahun 80an, ya, pakai agunan sertifikat tanah
Ada saudara tak bisa minjam karena tak punya tanah, terpaksa ayahnda pinjamkan sertifikat tanahnya...
Alhamdulillah.... sudah jauh berubah.
# Thank you atas ceritanya
Saya beruntung, punya mantan Ibu Kos ngasih pinjam rumah warisan orang tuanya untuk jadi boroh. He he. .. Kalau tidak tak bakalan bisa minjam di bank. Selamat malam dari tanah air, Mas Tanza.
HapusLumayan Mas Tanza. Kitanya yang tak mau lagi minjam uang bank. He he .... Nenek songong.
BalasHapusSekarang ini makin banyak tempat untuk meminjam uang, bukan hanya di bank, dan bunga cukup tinggi. Kalau dahulu orang meminjam untuk kebutuhan mendesak, saat ini orang meminjam uang demi gengsi. Hiks dunia benar-benar sudah terbalik ya, bunda
BalasHapusBetul, ananda. Jujur, dulu ada (meski tak banyak) teman bunda yang terjurat utang rentenir. Tapi untuk keperluan mendesak. Bayar uang kuliah anak. Kalau pinjsm duit berbunga sekadar gengsi dan gaya hidup, sungguh miris ya ananda.
HapusSaya pun gak mau lah minjam uang kalau tidak terpaksa dan memang harus meminjam.. Biar akhir bulan makan nasi sama garam sambil nunggu gajian juga gpp lah yang penting gak kepikiran tiap malam atau terbawa dalam mimpi hehe
BalasHapusSetuju, ananda, selagi bisa ditahan menjelang gajian, biar makan apa adanya. Daripada ngutang bikin pusing kepala. Prinsip saya juga begitu. Terima kasih telah mampir, Mas,/Mbak Nuki.
Hapusemang sekarang daripada pinjam saudara atau tetangga biasanya utang sama bank,hehe
BalasHapusSepakat, minjam ma saudara kadang2 dia gak mau ngasih. He he ... Selamat malam Mas Rizky
HapusMama saya PNS Bu, sering pinjam uang di Bank untuk biaya sekolah Kakak, saya bersyukur sampai saya lulus kuliah, dan nikah dibiayain ortu, tapi mama nggak pernah sampai minjam uang buat saya, apalagi minjam di bank.
BalasHapusSedihnya tuh ya, di daerah mama saya itu, udah jadi kayak target buat para PNS, bahwa anak-anak harus jadi PNS, biar bisa pinjam uang di bank untuk bangun rumah kek, beli mobil kek.
Kasian sih sebenarnya, tapi rata-rata udah dijadikan hal biasa
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMingkin zaman ananda Rey kuliah gaji PNS udah mulai baik-baik saja. Cukup untuk kebutuhan keluarga dan biaya kuliah anak.
HapusBenar. Di pedesaan, ukuran keberhasilan seseorang setelah menyelesaikan pendidikan adalah jadi PNS. Orang tua sanggup melakukan apa saja untuk memperoleh uang untuk nyogok. Mereka tidak malu mengatakan kalau anaknya lulus pns karena nyogok. Malah bangga. Seakan perbuatannya tersebut menunjukkan status sosial bahwa dia orang berada. Meski tidak semua. Rata2 begitu.
Orang kaya tapi anaknya lulus kuliah nganggur gara2 tak mau nyogok. Pasti diejek orang.
Untung zaman sekarang sistem rekrut pns diubah via Online. Awalnya ada juga yang ketipu. Ada yang ngaku bisa membantu bisa lulus. Duit lenyap, utang tumbuh. He he... Kepanjangan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusBanyak penyedia pinjaman yang tidak minta anggunan, ananda. Tetangga kami jualan sate, sekali pinjam KUR dapat 25jt. Terus beli bahan bangunan. Lunas pinjam lagi, begitu seterusnya. Guyur2 akhirnya rumahnya siap.
HapusSekarang banyak orang bank yang justru menawarkan agar seseorang mengajukan peminjaman ke bank ya...
BalasHapusBetul, Mas. Kitanya yang tak mau betutang. Karena sudah tua. He he .... Terima kasih telah singgah, Mas.
HapusAnanda Ursula Meta Rosarini, kumemnu tidak muncul di halaman artikel ini. Bunda copas di sini ya.
BalasHapuscommented on "Pengalaman Mengajukan Pinjaman di Bank Sampai Nangis Sambil Menggendong Anak"
Yesterday
Bener banget ini bunda, jaman dulu kalau mau pinjam ke bank kayaknya susah banget ya, aku sering denger cerita2 orang, tapi jaman sekarang, malah karyawan bank yang jemput bola cari nasabah, bahkan banyak banget iklan pinjaman online dengan syarat mudah dan bunga ringan, bener2 berbanding terbalik 180 derajat.
Iya, ananda Ursula. Kurang apa lagi generasi sekarang. Asal mau usaha. Asal jangan keperangkap pinjol ajah.
HapusTetangga bunda ada seorang broker ayam potong. Siapa yang mau jualan dia kasih bawa ayamnya duluan. Stor duitnya setelah ayam terjual. Sayangnya sedikit sekali anak muda yang mau. Duh ... Coba bunda masih muda. Padahal mereka pada nganggur.
MasMogiMogy, mohon maaf. Kayayaknya blogku ini lagi bermasalah. Komenmu tidak muncul. Notasinya ada. terima kasih telah singgah ya. Salam sehat buat keluarga di sana.
BalasHapuscommented on "Pengalaman Mengajukan Pinjaman di Bank Sampai Nangis Sambil Menggendong Anak"
14 hours ago
"Tulisan yang sangat menarik kak. Sekaran jaman udah jauh lebih maju. Apa-apa mudah"
Seumur2 saya cuma sekali minjam dari bank bunda, itupuuuuuun Krn saya staff di bank itu, dan salah satu benefit nya bisa dapat housing loan, car loan, dan sundry loan, dengan tenor lama dan bunga kecil. Jadi aku ambil sekali doang, itupun sebelum tenor abis, langsung aku lunasin 🤣.
BalasHapusGa enak Bun punya hutang. Kayak jadi beban. Udahlah skr ini nikmatin apa adanya. Dan kalo mau sesuatu, ya nabung
Beda dengan bunda. He he ..... Semasa gaji masih kecil, minjam bank nyambung terus. Tapi bukan untuk foya2. Buat bangun rumah, beli tanah, beli kebun, persiapan biaya kuliah anak. Setelah mereka kerja dan menikah semua, bunda tak mau minjam bank lagi.
Hapus