6 Alasan Korban KDRT Memaafkan Suaminya
Belum sebulan Lesti Kejora melaporkan suaminya ke Polres Metro Jakarta Selatan, atas dugaan tindakan KDRT. Eh ..., usai sang suami jadi tersangka dan ditahan, Pedangndut itu mencabut laporannya. Alasannya mereka telah saling memaafkan.
Begitu rapuhnya seorang Lesti. Mampu memaafkan suami yang telah memperlakukannya seperti lawan berkelahi yang patut dihabisi seketika.
Dari awal saya menduga, bahwa konflik mereka akan bermuara ke perdamaian. Begitulah kehidupan. Espektasi seseorang pernikahannya akan berjalan mulus penuh kebahgiaan, ternyata harus berurai air mata. Kondisi tersebut merupakan sunatullah yang tak bisa dibantah.
Makanya, sedapat mungkin pertengkaran suami istri tak boleh menjadi konsumsi publik. Kalau masih sayang kenapa harus lapor polisi (maaf, saya bukan melegalkan KDRT).
Bukankah kedua pihak masih punya orang tua supaya diadakan upaya mediasi. Atau kunyah sendiri sampai titik darah penghabisan.
Berangkat dari kasus Lesti dan Billar ini, saya mencoba beropini, mengapa seorang wanita pilih memaafkan suaminya, meskipun dirinya telah menjadi korban KDRT.
1. Masih cinta.
Masih cinta pada suami itu pasti Iya. Terlebih pernikahan baru seumur jagung. Aroma pengantinnya masih mewangi. Maaf, bukan berarti kami-kami lansia ini tidak mencintai pasangan. Tapi lebih banyak rasa kasian ketimbang cinta. walaupun makin tua makin nyinyir. He he ....
Lagi pula tidak semua orang mudah menghapuskan cintanya pada teman hidup yang pernah dia sayanginya. Tempat jatuh saja sulit dilupakan, apalagi tempat hati pernah singgah.
Sebanyak-banyaknya rasa benci, secumput cinta masih tersisa. Sekejam-kejamnya suami, istri masih ingat juga pada kebaikannya.
2. Karena anak
Memaafkan suami tersebab sayang anak adalah pertimbangan klasik. Terutama jika anak yang masih kecil dan jumlahnya lebih dari satu. Lesti Kejora pun punya alasan ini, “Demi anak saya. Bagaimanapun suami saya adalah ayah anak saya ...,” katanya.
Terlepas dari alasan mengalami KDRT, saya pribadi, tak mampu membayangkan anak-anak saya yatim sebelum bapaknya mati. Sementara teman-temannya bermanja mesra dengan papahnya anak saya gigit jari. Lain masalah jika dia yatim benaran.
Belum lagi andaikan kedua orang tuanya telah sama-sama punya pasangan baru. Terasa asing tatkala serumah bersama ayahnya, rasa orang lain ketika membaur dengan keluarga Emaknya yang notabene telah punya anak dengan suami barunya.
3. Alasan ekonomi
Point ini biasanya membelit ke kopi istri yang tidak berpenghasilan sendiri. Biaya hidupnya seratus persen tergantung ke suami.
Andaikan terjadi perceraian, mereka dan anak-anaknya makan apa. Lain masalah jika belum punya anak. Minimal nebeng pada orang tua.
4. Malu dengan status janda
Di negeri tercinta ini, wanita berstatus janda sering dikaitkan dengan stigma negatif. Baik janda tersebab perceraian, maupun ditinggal mati oleh suaminya.
Apabila kata “janda” terucap oleh pria, mereka membuli. Seolah-olah tidak menunjukkan simpati. Sedangkan di mata para istri, janda diposisikan sebagai golongan yang dicemburui, karena takut suaminya digoda.
Wajar seorang perempuan berpikir 1000 kali sebelum memutuskan hidup menjanda. Terutama jika dirinya masih muda.
Padahal, cuman segelintir janda yang suka mengganggu laki orang. Tidak sedikit pula wanita bersuami yang nakal, jadi pelakor. Berani berbagi cinta dengan lelaki lain.
5. Berharap suami akan berubah
Berharap suami bisa merubah adalah segunung harapan bagi istri korban KDRT. Hal ini pula yang dijadikannya salah satu pertimbangan untuk mempertahankan pernikahannya.
6. Takut kesepian
Takut kesepian setelah diceraika suami adalah manusiawi. Untuk bagiaan ini saya tidak menarasikannya panjang lebar. Ntar salah ulas karena saya bukan ahlinya. Sebab masalah kesepian ini erat kaitannya dengan psikologis.
Penutup
Apapun alasan istri memaaf suami yang telah melakukan KDRT, semuanya terpulang pada yang bersangkutan. Toh yang menjalaninya dirinya sendiri.
Terkait butir ke 5, berharap suami akan berubah, sepanjang pengetahuan saya, sikap suami yang punya hobi memukul istri, susah untuk berubah. Kecuali apabila suaminya telah mati.
Demikian opini ini ditulis sekadar menumpahkan uneg-uneg . Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- Kawatir Anaknya Menjadi Korban KDRT, Begini Kegelisahan Orang Tua
- Aduh ...! Dahsyatnya Efek Ledakan Petir
- Berjam-jam Registrasi MyPertamina Hasilnya Gagal Melulu
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
Di Kerinci, Jambi
klo udah keterlaluan sebaiknya memang ditinggalkan
BalasHapustapi yang sering itu alasan anak kasian klo sampai cerai
makanya mereka tetap bertahan
Setuju, Mas Ikram. Ngapain mikirin anak emaknya rela digebukin sampai bonyok. Kalau emak mati anaknya malah lebih sengsara. Ha ha ....
HapusAda juga baca kisah dia ni. Popular sampai ke Malaysia.
BalasHapusMasa sekarang informasi menyebar dengan cepat ya, ananda Salbiah.
HapusBanyak alasan mengapa orang memaafkan pelaku KDRT ya Bu, dan seharusnya hal-hal begini menjadi perhatian penting bagi lembaga yang menangani KDRT, untuk mengantisipasi korban KDRT mengalami hal yang sama kembali
BalasHapusAntisipasinya dari pribadi sendiri Ya ananda Rey. Tiada maaf untuk suami pelaku kdrt. Bubar aja. Biasanya karakter lelaki cepat main tangan itu susah diubah. Perempuan tetap dirugikan. Sudah damai, ke depannya tetulang lagi. Ngasih tahu sanak keluarga malu. Endingnya tanggung sendiri. selamat pagi ananda.
Hapusp/s ibu apa khabar? sihat ke tu?
BalasHapusAlhamdulillah, sehat, ananda Say. Maaf ya telat merespon. Tadinya blog nenek ini bermasalah.
HapusMemang benar sekali, ke-6 hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Tapi kalau tetap dipertahankan juga cuma bisa berharap pasangangannya berubah aja sih,
BalasHapusBerharap boleh2 saja ya, Mas Auqri. Soal kenyataan kedepannya urusan belakangan. He he . terima kasih telah singgah. Selamat pagi. Doa sehat untuk keluarga di sana.
Hapus