Khawatir Anaknya Jadi Korban KDRT, Begini Kegelisahan Orang Tua
Dua minggu terakhir publik dihebohkan oleh berita Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang dialami oleh pedangndut Lesti Kejora. Terduga pelakuannya suami dia sendiri Rizky Billar.
Lesti bukan siapa-sapanya saya. Tetapi begitu mengetahui informasi tersebut naluri saya terguncang. Saya membayangkan andaikan korbannya anak saya, mungkin saya histeris seketika.
KDRT di mata orang tua
Orang tua mana yang merelakan purtinya jadi korban KDRT. Terutama ibu. Dia yang mengandung dan melahirkan anaknya penuh perjuangan antara hidup dan mati. Dalam kondisi ekonomi sulit pula seperti keluarga Emak saya zaman dahulu.
Belum lagi menyusui, mengasuh, mendidiknya dengan kasih sayang, mendoakannya siang dan malam semoga si buah hati selalu dalam lindunganNya. Dan kelak setelah dewasa menjadi anak berguna bagi dirinya, orang tua dan masyarakat. Tiada seekor nyamuk pun boleh mencicipi darahnya.
Setelah menikah dia disiksa secara fisik dan mental oleh suaminya sendiri. Orang tua mengikhlaskan putrinya menikah dengan pria idamannya supaya anaknya bahagia dan dilindungi. Bukan untuk dipukul.
Parahnya, setelah mengalami KDRT, dipersalahkan pula oleh pihak mertua (orang tua dan keluarga suami). “Udah tahu suami tempramen bininya suka melawan. Bla bala ....”
Saya paling jengkel dengan sikap mertua begitu. Memangnya kita menikah dengan anaknya untuk disiksa, dijajah, tak boleh protes? Enggaklah, Emak mertua. Apapun alasannya.
Harapan orang tua terhadap menantu
Saya dan suami menikah Juli 1974. Dua minggu setelahnya kami pamit kepada Emak dan Bapak mau pindah rumah ke desa lain. Kurang lebih 10 km dari kediaman orang tua saya.
Ayah sambung saya bilang ke suami, “Saya izinkan kau bawa anak saya karena dia sudah jadi isterimu. Tapi satu pesan saya, andai kalian bertengkar, jangan sekali-kali kau main tangan. Kami merestui dia nikah denganmu bukan untuk dipukul.” Saya terharu. Hampir saja air mata saya menetes.
Anak nyaris senewen Emak stress.
Seiring perjalanan waktu, ketahuan belang kami masing-masing. Saya dan dia sama-sama keras. Dua belas sepuluhlah. Dia 12 saya 10. Kami sering berantam.
Tetapi suami tak pernah melakukan kekerasan fisik. Mulutnya tajam? Iya. Hingga sukses membuat saya nyaris senewen. Kadang-kadang hanya tersebab masalah sepele. Alhamdulillah saya tiada niat mau bunuh diri. Ha ha ....
Kabar ini sampai ke telinga almarhumah Emak. Emak stress. Sering beliau mencari informasi kepada tetangga apakah suami saya suka memukul atau tidak. Kalau sekadar pengakuan dari saya beliau tak percaya. Emak selalu khawatir.
Rumah tangga terguncang, pertengkaran semakin menggila
Tahun ke 3 pernikahan kami terguncang akut. Gara-garanya ...? apa lagi kalau bukan orang ke tiga. Saya sakit hati lama sekali, sering mengungkit-ungkit kesalahan dia.
Dia tak suka dengan sikap saya. “Bukankah saya telah bersumpah demi langit dan bumi masalah ini tak akan terulang lagi,” katanya.
Tapi hati saya sulit memaafkannya. Sekali dikhianati tetap tersakiti. Meskipun saya sadar bahwa sepuluh ribu kali sehari pun diungkit-ungkit tak akan mengubah keadaan.
Ya, namanya darah muda. Lebih menonjolkan ego daripada kewarasan. Padahal saya mengerti agama. Tak pernah tinggalkan salat. Saya tetap saja kalah oleh bisikan iblis.
Wajar, begitu ketahuan suaminya selingkuh, Lesti Kejora ngamuk sampai berteriak-teriak, hingga membuat Billar panik.
Emak stress episode ke dua
Lagi-lagi Emak saya stress episode ke dua. Apabila terdengar kabar kami bergaduh, beliau susah tidur. Emak bilang saya bodoh. Berantam terus tapi tak pandai minta cerai.
Saya tidak sakit hati dan sangat paham. Sikap beliau tersebut sebagai bukti kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Tak terbayang jika suami melakukan KDRT mungkin Emak saya yang bunuh diri. Meskipun sejatinya secara psikis saya terkategori mengalami KDRT, seperti dijelaskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004. Dilansir dari Laman Kompas oleh tempo.co, jenis-jenis KDRT meliputi, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Kondisi ini berlangsung kurang lebih 15 tahun. Benar-benar gila. Untung biduk rumah tangga kami tidak karam. Tahun ini memasuki tahun ke 48. Kami tak pernah lagi cekcok setelah kembali dari haji Desember 2008.
Giliran jadi Emak
Sejak jadi ibu, setiap habis salat saya hampir tak pernah absen mendoakan yang terbaik buat anak –anak saya.
Tak lupa juga memohon kepada Allah, semoga mereka ditemukan dengan jodoh yang baik, saleh dan salihah, penyayang kepada pasangan.
Sebab, berangkat dari pengalaman, nikmatnya kehidupan itu akan terasa karena adanya kerukunan dalam rumah tangga, didampingi suami dan istri yang mengerti agama.
Adalah omong kosong kalau ada pameo, “Bertengkar suami istri itu bumbu rumah tangga.” Mungkin ada juga benarnya jika konfliknya masih dalam kadar yang wajar.
Pengalaman menghadapi anak gadis
Sebelum putri saya menikah, saya sering menasehati dia. “Kalau kamu cari suami, syarat pertama orangnya penyayang, berakhlak, dan mengerti agama.”
Dia mengolok-olok saya. “Ntar saya bawa calon menantu berjubah,” balasnya.
Beberapa bulan mendekati wisuda, dia ngasih tahu bahwa dirinya sudah punya pacar, si A teman SMAnya dulu. Lama terpisah, mereka ketemu lagi di kota tempat mereka berkampus. Bapaknya dari suku X, ibunya suku S.
Dada saya berdebar kencang. Saya hampir histeris. Syukur masih mampu mengendali emosi. Pasalnya, 3 tetangga saya berasal dari suku yang sama dengan bapaknya si A, tiga-tiganya suka marah dan kasar terhadap istrinya.
Alasan lain, ayahandanya A seorang pejabat di salah satu Kabupaten. Kami hanya orang kampung kebanyakan. Saya khawatir, kelak setelah anak saya jadi menantunya keluarga mereka akan memperlakukan putri saya semena-mena.
Dia membela sang calon mertua. “Mereka bukan keluarga sembarangan, salatnya taat, anak-anaknya punya guru ngaji pripat, bicara lembut, bla, bla ....” Saya tak mampu lagi menangkis argumennya. Takutnya dia tersinggung.
Merasa bersalah
Usai wisuda putri saya langsung kerja pada sebuah perusahaan di ibu kota provinsi. Kami tinggal di kabupaten.
Setahu saya, dua tahun berikutnya, mereka masih pacaran, tapi dia tak pernah mengajukan rencana untuk menikah.
Setiap didesak dia menolak dengan berbagai alasan. Saya bingung dan merasa bersalah. Apakah dia patah hati gara-gara pernah diprotes. Usianya mendekati 28 tahun. Takutnya dia terlena dengan kesendiriannya
Terdengar kabar, bahwa dalam rentang 2 tahun tersebut dia pernah pula gonta ganti pacar. Namun tak ada yang cocok.
Januari 2008 dia dan A minta izin nikah pada saya dan ayahnya. Tak ada alasan bagi kami untuk menolak. Tunggu apa lagi. Mereka keduanya telah bekerja. Walaupun batin saya dibayang-bayangi rasa was-was. Takut anak saya menjadi korban KDRT.
Kini rumah tangga mereka jalan 14 tahun. Alhamdulillah, saya belum pernah mendengar mereka bertengkar. Tak salah dia memilih jodoh. Suaminya type penyabar sayang pada anak dan istri, santun terhadap mertua. Ayah bunda dan keluarganya pun sangat menghomati kami.
Walaupun ada riak-riak kecil, yang terdengar omelan putri saya. Saya yang tidak enak. Sering saya bilang ke A, “Kalau istrimu marah-marah, coba sesekali dilawan. Supaya dia tahu kekeliruan dirinya.”
“Enggaklah, Bu. Justru kerena dia suka marah itu membuat saya tambah sayang padanya.”
Allahuakbar. Hati saya berbisik, “Semoga kau menjadi salah satu penduduk surga jannatul na’im di kherat nanti.”
Kesimpulan dan Penutup
Tiada satu pun orang tua yang tak sakit hati jika anaknya menjadi korban KDRT. Tetapi kekhawatiran yang berlebihan terhadap hal-hal yang belum terjadi mengakibatkan kegelisahan yang tidak berdasar.
Selain itu, menyamaratakan karakter orang yang satu dengan pribadi lainnya merupakan kekeliruan besar. Sekalipun mereka berasal dari keturunan, golongan, dan kultur yang sama.
Demikian artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Bukan bermaksud memojokkan golongan tertentu. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- Aduh ...! Dahsyatnya Efek Ledakan Petir
- Berjam-jam Registrasi MyPertamina Hasilnya Gagal Melulu
- Kisah Pempek Bengkulu Cuko Palembang dan Penyakit Pikun
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
kayaknya, belum bertengkar, belum sah suami istri.... hehehe
BalasHapusya, memang, main pukul jangan sekali,.... jangan pernah ... bahkan dikategorikan kriminal...
# Cerita yang menarik.... thank you for sharing
Kalau emak2 dipukul bapak2 yang tubuhnya gede kayak laki saya, sekali senggol langsung ambruk. Ha ha ...
HapusTerima kasih telah mengapresiasi, Mas Tanza.
👍👍
HapusHebaaat bunda, mampu bertahan. Aku sendiri ga bisa utk trus bwrsama kalo suami sampe selingkuh. Pernikahanku yg pertama gagal ya karena si mantan selingkuh. Aku maafin, tapi ga akan bisa percaya lagi seumur hidup. Jadi buat apa ttp bersama.. makanya aku keukeuh harus cerai. Untung suami yg sekarang jauh lebih sabar, lembut dan setia.
BalasHapusBuatku 2 hal yg akan pernah aku trima kalo suami selingkuh dan melakukan kdrt. Jangan coba2 kalo itu, aku ga segan bakal ambil tindakan. Nanti kalo anak2 udah gedean, aku juga bakal tekanin itu. Jgn pernah biarin pasangan kalo mulai kasar apalagi main tangan. Tinggalin yg begitu, Krn bakal susah buat dia berubah
Bunda bertahan demi anak2, bunda ingin anak2 yatim sebelum ayahnya mati. Dan yang paling menakutkan andaikan mereka punya ayah tiri. Sebaik2 ayah tiri tetap saja anak2 merasa asing dalam keluarga. Bunda telah mengalami sendiri. 😭😭
HapusSangat bermanfaat nek ☺️
BalasHapusTerima kasih apresiasinya, ananda Dinni. Salam sehat buat keluarga di sana ya.
HapusIkut menyimak ulasan yang panjang dan lebar serta lengkap ini bu Nur.. Salam hormat🤝
BalasHapusMelebihi panjangnya kisah hidup prnulisnya yang menghari biru ya, Mas Warkasa. He he ... terima kasih telah singgah. Selamat beraktivitas.
HapusTerapkan ajaran agama Islam secara tuntas dalam keluarga bisa halangi KDRT
BalasHapusSetuju, Mas. Terima kasih telah mengapresiasi.
Hapus