Jangan Lewatkan! Kisah Perburuan Rumah Impian!
Memiliki rumah sendiri adalah impian banyak orang. Terlebih bagi mereka yang telah kenyang dengan pahit manisnya tinggal di kontrakan, seperti saya. Hidup terasa belum merdeka.
Mirisnya, semasa ngontrak waktu seakan berlalu sangat cepat. Rasanya baru beberapa bulan melunasi sewa, eh ..., tagihan perpanjangannya datang lagi. Belum lagi gesekan-gesekan yang tak seharusnya terjadi dengan empunya rumah, membuat hidup kurang nyaman.
Rumah impian akhir 70-an
Mulai tinggal di Kerinci sini 1977, impian saya tak muluk-muluk. Punya sepetak gubuk berlantai tanah, dengan satu kamar saja, sudah lebih daripada cukup. Yang penting milik sendiri.
Ketika melihat bedeng sederhana, spontan saya berhayal, “Andaikan saya mampu belinya sepetak saja, tiada secuil debu pun saya biarkan singgah. Bla ..., bla ....”
Tahun 1981, kami membeli sedikit tanah perumahan. Lokasinya terpencil di ujung desa, dilingkungi semak belukar. Makanya harga agak miring dan terjangkau oleh kantong kami. Bagusnya posisinya di pinggir jalan raya Kota Sungai Penuh Jambi.
Rumah impian berdinding pelupuh
Mulailah saya dan suami menyusun program untuk membangun rumah impian. Yaitu, gubuk kecil berdinding pelupuh bambu. “Untuk apa bikin rumah bagus, toh habis masa dinas balek kampung.” Begitu pikiran saya saat itu. Lagipula kami belum mampu membuat rumah permanen.
Pelupuh, paku, dan beberapa material lainnya sudah terkumpul. Rumah impian sudah di depan mata.
Tiba-tiba ada usulan dari Pak Tuo tetangga. “Ngapain kalian bikin rumah bambu. Sekalian semi permanen aja. Guyur-guyur. Tak siap setahun dua tahun. Daripada nanti dirombak lagi. Ke depannya daerah ini bakal rame. Mosok anak muda seperti kalian tinggal di pondok bambu. Malu ditengok orang, ” katanya.
Pikiran suami berubah 180 deratat. Dia mengikuti saran Bapak 60 tahun itu. Lahan kami hanya mampu menampung bangunan 6 X 5,5 M, dengan satu kamar tidur, satu ruangan tamu, sedikit dapur kurang lebih 2 x 3 M, dan sebuah sumur yang digali sendiri oleh cowok gantengku.
Rumah impian melampaui ekspektasi
Belum siap bangunan induknya, kenalan kami menawarkan tanahya. Posisinya pas di samping rumah kami, agak meruncing ke samping seperti segi tiga. Lagi-lagi kondisinya semak belukar yang ditumbuhi pohon senduduk. Tidak luas juga. Harganya Rp 50 rb. Kami beli. Saya dan suami sepakat menambah kamar satu lagi.
Agustus 1983 bangunan sangat sederhana 2 kamar tersebut siap huni. Satu kamar tidur, yang lainnya buat saya beraktivitas menjahit, keriting dan potong rambut. Waktu itu kami baru punya anak satu, usianya 3 tahun. Emaaak ..., senangnya punya rumah pribadi. Wujudnya melampaui ekspekatasi awal, rumah impian berdinding bambu.
Kriteria rumah impian tak kunjung terpenuhi
Waktu berlalu mengikuti detik. Pondok dua kamar tadi tidak sesuai lagi dengan kriteria rumah impian. Saya mendambakan punya kamar khusus untuk tamu.
Sebab, zaman itu sanak keluarga dari kampung sering berkunjung. Ada pula yang menetap 3 – 5 tahun numpang bersekolah. Lulus satu datang satu lagi.
Sementara putra putri kami semakin besar. Saatnya anak cewek dan cowok pisah kamar. Lahan yang masih tersisa kami bangun lagi satu petak kios sangat sederhana 2 lantai.
Rumah impian itu keinginan gila
Singkat cerita, dalam kurun 42 tahun, gubuk sederhana kami telah ditambal sulam kurang lebih 10 kali. Mulai beli tanah tambahan, nambah kamar, pelebaran dapur, sampai membuat gudang, dan sebagainya.
Tujuannya memenuhi impian pemiliknya. Kalau dapurnya diperlebar, jadinya kira-kira begini , lebih enak dipandang .... Dan seterusnya ..., dan seterusnya. Bangunan tambahan pun tumbuh di sana sini. Alhasil, interiornya jadi kacau.
Terakhir saya menyadari, rumah impian itu tak pernah ada. Yang ada keinginan gila manusia normal yang diracuni oleh virus hawa nafsu. Udah punya satu pengen dua, dapat dua maunya 3 dan seterusnya.
Alhamdulillah, seiring bertambahnya usia tabiat tersebut tenggelam. Kini perburuan untuk mencari rumah impian itu telah tamat. Tinggal menunggu rumah penantian berukuran 1 x 2 Meter.
Ternyata rumah impian itu tak jauh-jauh dari hati. Indikatornya, nyaman ditinggali, punya tetangga yang baik saling mengahrai, saat berkumpul semua anak cucu mereka leluasa bergurau, kejar-kejaran, berkat ruangannya yang lumayan luas. Dan yang paling penting bebas dari tekanan orang ke tiga dari berbagai penjuru.
Sekarang dikasih rumah gedong mewah gratis pun belum tentu saya mau. Apa lagi yang ngasih penelepon gelap yang ngaku tak punya ahli waris untuk mengelola hartanya. Ha ha ....
Kesimpulan dan penutup
Setelah kalian membaca ulasan di atas jangan berpikir, bahwa rumah saya mewah kayak gedong. Oh tidak. Dia layak disebut gubuk tua.
Tapi, lingkungannya yang dahulu semak belukar dan sepi, kini ramai karena dikelilingi banyak sekolahan.
Dari kisah ini saya dan mungkin juga kalian, dapat menyimpulkan, bahwa rumah impian itu relatif. Sesuai zaman, selera, kriteria, strata sosial, dan kantong pemiliknya. Sekian dan terima kasih. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
- Nostalgia di Desa Cupak. Bicara Pakai Trik Iyo-Iyo
- Bangga dengan Kusuksesan Masa Lalu adalah Kekonolan
- 2 Tipe Cowok Idaman Gadis Jadul. Siaplah Ketawa Ngakak
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
Dulu pun saya begitu bund..kepingin punya rumah sendiri gak ngontrak lagi.. alhamdullilah akhirnya punya rumah sendiri..ya gitulah watak manusia...di bagusin...di gedein...namanya masih baru merintis😀 kalau sekarang sudah aaah...yg penting ada tempat tinggal buat berteduh..mau beli"perabot sudah malez..pakai yg ada saja hahahha
BalasHapusNah, belum lagi seusia nenek ini. Mikirnya hanya sekadadar kebutuhan hidup. Mandi, masak, makan, tidur, ibadah, tidur lagi. He he. Baju cantik gsk lagi. Setiap tahun dibelikan anak. Toh untuk apa baju bagus. Orang di rumah saja.
HapusSetiap usia selalu punya sudut pandangan keinginan ya berbeda ya.
BalasHapusSaya yang bujang saja mikirnya “yang penting nikah ngontrak cukup”.
Keknya bakal berubah lagi pas sudah nikah “punya rumah sendiri kecil juga gpp, yang penting rumah sendiri”
Pas udh punya rumah sendiri “kurang gede nih, tambah satu lantai bisa kali”
Gak ada habisnya. Dan artikel Bu Nur kali ini benar-benar menjadi gambaran untuk saya kedepannya.
Untuk saat ini saya mau asik asik sebagai bujang dulu. Bisa tinggal dimana saja bahkan pernah tidur di stasiun ahaha (saking bebasnya)
Ananda nuhid ..., nuhid ..., nuhid. Komenmu kali ini seru banget. Sarat curhatan dan kerbukaan. Terutama bagian ini, "Untuk saat ini saya mau asik asik sebagai bujang dulu. Bisa tinggal dimana saja bahkan pernah tidur di stasiun ahaha (saking bebasnya)"
HapusYa, seharusnya begitu. Puas2in dulu masa bujang. Setelah berumah tangga ceritanya akan lain
Ananda nuhid ..., nuhid ..., nuhid. Komenmu kali ini seru banget. Sarat curhatan dan kerbukaan. Terutama bagian ini, "Untuk saat ini saya mau asik asik sebagai bujang dulu. Bisa tinggal dimana saja bahkan pernah tidur di stasiun ahaha (saking bebasnya)"
BalasHapusYa, seharusnya begitu. Puas2in dulu masa bujang. Setelah berumah tangga ceritanya akan lain
Tapi masa bujang itu sampe kapan bu? Ahhahah
HapusPenuh dengan perjuangan buat bisa dapat rumah impian,,
BalasHapusIntinya bersyukur aja bisa punya rumah walaupun bentukannya kayak gimana yg penting t4 nya nyaman
Bersyukur banget, ananda. Terima kasih telah singgah. Selamat malam.
HapusSaya masih terlalu kecil untuk berkomentar terkait artikel nya bu hihihi
BalasHapusKomen ajah, ananda. Anggap saja curhat. He he ....
HapusSepertinya ini bukan satu impian saja tapi impian yang berlapis-lapis, dan hampir semuanya tercapai, mulai dari awalnya kepingin bilik bambu saja dan akhirnya melampaui ekspektasi bisa menambah dan terus menambah, bernafsu dan bermimpi itu sebenarnya bukan hal buruk selama lama masih bisa terkontrol dan jangan dibuang, kita harus tetap punya impian dan nafsu agar hidup terasa berwarna, hanya saja jika nafsu dari impian sudah membuat kita tidak nyaman, terus memaksa kita untuk mengusai segalanya apalagi menghalalkan segala cara, maka jika begini semuanya harus dihentikan dan mulai berfikir untuk puas dgn apa yang ada saja.
BalasHapusMari terus bermimpi selagi mampu bermimpi, jangan berfikir kuburan hanya 1 x 2 m saja, tapi berfikirlah dan impikan bahwa dalam kubur kita nanti juga akan lebih luas, bermimpilah bahwa dalam kubur kita nanti ada fasilitas VVIP, ada kulkas, ada bioskop di dalamnya, dll, jgn berhenti bermimpi 👍
Hapus"Mari terus bermimpi selagi mampu bermimpi, jangan berfikir kuburan hanya 1 x 2 m saja, tapi berfikirlah dan impikan bahwa dalam kubur kita nanti juga akan lebih luas, bermimpilah bahwa dalam kubur kita nanti ada fasilitas VVIP, ada kulkas, ada bioskop di dalamnya, dll, jgn berhenti bermimpi 👍"
Luar biasa. KomeMas Jaey menyentakksn saya dari mimpi rumah 1 x2 meter. Benar, apalah arti sebuah kematian jika tiada bekal untuk dibawa. Terima kasih telah singgah. Salam sore penuh berkah.
hai, salam dari malaysia. your story truly inspired me to keep chasing what i want in life and be grateful with what remains.. i hope you're happier now ! <3
BalasHapusSalam juga dari Indonesia, Sobat zaty. Terima kasih telah mengapresiasi. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.
Hapusyang penting punya sendiri, dan tidak menyewa......
BalasHapussoal kenyamanan, kita sendiri yang merasakan dan menikmatinya....
Posting bermanfaat 👍👍
Aku bersyukur bgt bisa punya gubuk sendiri sebelum merit, setelah merit lgsg nempatin gubuk berdua sm suami, smpe skrg udah berkali2 renov sedikit2 tp penampakannya masih gubuk aja hihi, menikmati bgt prosesnya, yg penting nyaman tinggal bertiga dg suami & anak
BalasHapusoh iya, selamat menjalankan ibadah puasa bunda
HapusNah, itulah wujud rasa syukur terdap Sang Pencipta ya, ananda. Menikmati apa yang telah kita miliki wslau hsnya sebush gubuk.
HapusUcapan yang sama disampaikan kembali. Ya ananda. Terima kasih doanya.
Rumah adalah keperluan asas untuk kita hidup...ada rumah impian umpama syurga di dunia
BalasHapusYa, tak heran ada jagon "rumahku syurgaku."
Hapus