Nostalgia di Desa Cupak. Bicara Pakai Trik Iyo Iyo
Mengayuh sepeda 20 km
Pertama ke Desa Cupak, saya diantar anak ibu kos bersama pacarnya Salmi. Naik sepeda ontel kurang lebih 20 km dari Kota Sungai Penuh. Sejatinya paling 15 km. Karena saat itu musim banjir, kami terpaksa melalui jalur alternatif.
Susah berkomunikasi
Begitu menginjakkan kaki di Desa Cupak, kami disuguhi pemandangan sawah yang sangat luas, dengan padi yang sedang menguning. Sangat elok dipandang mata. Masyarakatnya ramah rajin menyapa.
Kebetulan Salmi punya saudara perempuan satu ayah di sana. Di tempat keluarganya itulah cowok 21 tahun tersebut menitipkan saya.
Tetapi saya bingung karena sulit berkomunikasi. Nyaris semua ucapan mereka tiada yang saya pahami. Bila diajak bicara, saya iyo-iyo-kan saja. (Iyo = Iya).
Ternyata logat Desa Cupak beda jauh dengan bahasa Dusun Pondok Tinggi dan Dusun Sungai Penuh, yang familiar dengan keseharian saya. Meskipun sama-sama Bahasa Kerinci.
Sakit di rantau orang
Hari ke dua di tempat yang baru itu, saya mulai kurang enak badan. Besoknya berlanjut demam benaran. Suhu badan saya kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin, kepala sakit serasa dipukul pakai palu.
Semangat yang tadinya menggebu-gebu ingin segera masuk kelas, terpaksa tertunda. Melapor ke SD No. 124/III cupak pun saya tidak kuat.
Saya sedih. Sakit di rantau orang tiada sanak keluarga dan orang tua. Suami pun jauh di provinsi Riau. Terbaring sendirian di ruang tamu, karena rumah yang saya tumpangi hanya punya dua kamar. Satu ditempati tuan dan nyonya rumah dan 4 anaknya yang masih bocil. Yang lain untuk anak perempuan beliau dan suaminya yang baru menikah,
Keluarga berhati emas
Untungnya keluarga yang saya tumpangi berhati emas. Mereka memberikan saya minum pil bodrek dan entah obat apa lagi yang dibelinya di warung. Tak ketinggalan pula obat kampung. Mereka juga menyuguhkan saya nasi, buah dan camilan lainnya. Semuanya pahit ditelan. Kecuali buah jeruk.
Cuma itu yang bisa mereka bantu. Dokter jauh di Kota Sungai Penuh. Yang ada Bu Bidan dan Pak Mantri. Mereka bertugas dan tinggal di puskesmas Hiang, kurang lebih 6 km dari Desa Cupak.
Pindah rumah
Saya lupa entah hari keberapa kesehatan saya pulih tanpa dijamah oleh tenaga medis. Yang saya ingat, pasca kesembuhan saya diajak pindah oleh perempuan 65 tahun.
Nenek ramah dan mudah senyum itu mengenalkan dirinya sebagai saudari kandung ayahandanya Salmi. Spontan saya memanggilnya Emak. Meskipun sesungguhnya beliau sebaya nenek saya. Dalam kegagapan berkomunikasi, saya nunut saja.
Rumahnya semi permanen, gede tak ketulungan. Saking besarnya, ketika bicara, suara kita memantul kayak dalam masjid. Dapurnya saja kurang lebih 12 x 10 meter. Konstruksi bangunannya menggambarkan, bahwa pemilik rumah tua itu orang kaya pada zamannya.
Kamarnya ada 3. Tetapi luaaaas ... banget. Setiap kamar didiami oleh satu keluarga. Semuanya keturun pemilik aslinya yang sudah lama almarhum.
Saya di kamar depan. Bergabung dengan Emak, ditambah anak beliau seorang janda beranak 2. Masuk saya jadi 5. Selurh penghuni rumah berjumlah 14 orang. Semua baik-baik saja, tanpa adanya konflik.
Bus Saroha dan sepeda
Zaman itu Desa Cupak jarang dilewati kendaraan roda 4. Paling sekali dua minggu ada mobil tua. Ketika beroperasi mesinnya grbak-grbuk seperti mesin gilingan padi pecah klahar. Pemiliknya Si Chan orang Tionghoa.
Dari Sungai Penuh bus ¾ berlabel Saroha itu hanya mengangkut penumpang beberapa orang saja (jarang penuh). Pulangnya membawa kayu bakar. Tak ada jadwal yang pasti hari kedatangan dan keberangkatannya.
Lazimnya, kalau pergi jauh masyarakat setempat naik sepeda. Termasuk ke ibu kota kabupaten (Sungai Penuh).
Naik Jeep trailer
Kalau tak punya sepeda seperti saya, tetapi mau ke Sungai Penuh untuk berbagai keperluan, jalan kaki dulu dari Cupak ke Simpang Tanjung Tanah kurang lebih 1,5 km. Meniti jalan tanah yang bertimbun kerikil, melewati lingkungan sawah dan sedikit belukar. Kondisinya sepi.
Star dari desa Cupak, sampai ke tempat yang dituju, belum tentu ketemu seorang manusia pun. Bila hujan agak rintik-rintik gerombolan babi hutan cuek bebek pamer anak cucu.
Alhamdulillah saya menghadapinya biasa-biasa saja. Maklum, orang kampung. Telah kenyang dengan pemandangan hutan dan pernak-perniknya. Meskipun saat usia saya baru 24 tahun.
Sampai di Simpang Tanjung Tanah, mencegat Jeep trailer dari Bangko. Itupun sebelum jam 8.00. Selepas itu jangan harap ada tumpangan lain.
Sebab, setiap hari hanya ada satu jeep trailer yang masuk. Pulangnya sore sekira pukul 15.00, menunggu Jeep itu lagi berangkat ke Bangko. Sungguh asyik bila dikenang. Rame-rame duduk di bak trailer bercampur aduk dengan barang.
Pernah juga saya dapat pinjaman sepeda dari tatangga untuk ke Sungai Penuh. Yang namanya minjam, paling sekali dua. Setelah itu, tak bakalan dikasih lagi. Ya , sudah. Saya tidak berkecil hati. Memangnya saya ini siapa. Sanak bukan saudaranya bukan. Tiada pula budi yang bersangkut paut.
Penutup
Kini suasananya telah berubah 360 derajat. Boleh dihitung dengan jari rumah tangga di Cupak dan Kabupaten Kerinci umumnya yang belum punya motor. Bahkan mobil pribadi pun sudah bejibun.
Daerah pinggir jalan yang dahulunya ditumbuhi semak belukar, telah dipenuhi bangunan rumah. Lahan persawan satu-persatu lenyap dari permukaan karena tertutup bangunan mewah dan bagus. Kasus ini menjangkit hampir di seluruh Kerinci.
Yang paling membahagiakan, hubungan saya dengan masyarakat Cupak terbilang sangat baik.Terutama dengan sanak famili Emak kos saya dahulu. Meskipun Emak telah tiada, anak-anak cucu beliau masih santun dengan saya. Saya pun merasa bagian dari keluarga mereka. Sekian dan terima kasih.
Baca juga:
- Bangga dengan Kusuksesan Masa Lalu adalah Kekonolan
- 2 Tipe Cowok Idaman Gadis Jadul. Siaplah Ketawa Ngakak
- Macet di Batang Hari, Masyarakat Merepet Jadwal Ngaret
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
Luar bisa ya Bu, ternyata dulu pasangan LDR juga jadi terharu saya 🤧🤧🤧
BalasHapusSaya ketawa ngakak setelah baca kalimat “Bila hujan agak rintik-rintik gerombolan babi hutan cuek bebek pamer anak cucu.”
Saya gak bisa bayangkan hutannya seperti apa, Bu Nur usia 24 tahun itu sudah lama sekali. Jarak antar daerah hitungannya masih Km an.
Semoga Bu Nur dan keluarga terutama Sang Bapak selalu sehat.
Sempat LDR kurang lebih 2 tahun, ananda Nuhid.
HapusHutannya tidak terlalu padat. Cuman belukar biasa. Yang ditumbuhi pohon perdu. Tempat empuk bagi babi hutan cari makan. Mem-bongkar2 tanah mencari cacing.
Terima kasih doanya. Harapan yang sama pula untuk keluarga di sana
Aamiin,
HapusLumayan lama ya LDRnya. 🥲
Ternyata babi hutan makan cacing juga ya. 😱
Alhamdulillah ibu dapat emak kost yang baik ya.
BalasHapusTerbayang suasana pada saat itu, pasti daerah desa cupak masih agak sepi ya Bu.
Syukurlah anak anak ibu kost masih baik.😀
Alhamdulillah, Amin, Mas Agus. Ibu kos dan anak cucunya baik sekali.
HapusSepi memang. Makanya babi hutan berkeliaran di semak2 pinggir jalan.
Terima kasih telah singgah, selamat malam, salam sehat selalu.
Orang jaman dahulu kalo berteman itu bisa sampai puluhan tahun sampai ke anak ya. Kenapa sekarang mulai pudar ya.😩
HapusKarena digilas oleh individualisme ya, Mas Agus
Hapusmengenang masa lalu yang pahitpun bisa jadi indah....
BalasHapusnice story
Setuju, Mas Tanza. benar juga kata orang2. Semuanya bisa indah pada waktunya. terima kasih telah mengapresiasi. Selamat malam dari tanah air.
Hapus👍👍
HapusKetemu emak di perantauan ..akhirnya malah jadi saudara ya bund,walau keluarga jauh di mana,ketika sakit orang terdekat yg bantu ternyata si emak dan keluarga
BalasHapusBenar ananda, sekarang mereka seperti saudara sendiri. terima kasih telah singgah selamat malam.
HapusSaya jadi inget rumah di daerah mana, kayaknya sumatera atau Sulawesi yaaa, dalam 1 rumah ada beberapa keluarga, tapi memang rumahnya luaaaaaaas banget Bun. Kayaknya orang zaman dulu memang sengaja membuat rumah seperti itu Yaa. Apa mungkin maksudnya utk berkumpul semua keluarga besar?
BalasHapusSenang pastinya kalo dpt kluarga kos yg baik. Hubungan pun ttp bagus setelah sekian lama
Orang dahulu khawatir anak cucunya tak mampu membuat rumah sendiri. Karena zamannya kurang mendukung tersebab pendidikan kurang. Beda dengan anak sekarang. Mereka sudah dapat bekal pendidikan yang memadai. Tak sanggup cari nafkah di daerah A dia pergi ke daerah B. Tak pedulu cowok atau cewek. Dahulu anak perempuan tidak boleh merantau sebelum menikah. Sekarang malah banyak anak cewek yang masih single yang kuliah dan kerja di luarnegeri. Terima kasih telah singgah ananda.
Hapusmasa2 perjuangan dulu y bu, dengan keterbatasan akses tapi mau gimana lagi namanya kerja, semangat bu sekarang sudah agak santai ya hehe
BalasHapusBetul sekali ananda Rezky. Jika anak-anak sekarang dihadapkan dengan situasi begitu mungkin mereka sudah kabur..
Hapus