Kisah abadi: Mengenang Kepergian 3 Sahabat Karibku
Awal 2023 ini, 3 sahabat Karibku berpulang. Mereka teman sekolah saya, satu kampung beda desa. Ketiganya sosok-sosok yang adaptif dalam banyak suasana. Kami saling menerima kondisi masing-masing.
Ya, harus bagaimana lagi. Suka tidak suka, hidup ini umpama buah. Putik luruh, muda, dan tua luruh. Setelah matang pun pasti berguguran jatuh ke bumi. Ini adalah sunatullah yang tak bisa diganggu gugat.
Yang tak mudah dilupakan adalah, setiap sahabat punya keunikan berbeda, yang memberi warna dalam kebersamaan.
Yuk, simak kisah dan keunikan 3 almarhum dan almarhumah sahabat karibku dalam ulasan berikut ini.
1. Sartono, cowok mudah senyum dan santun
Tono, begitu panggilan akrabnya. Dia teman sekelas saya. Kami saling kenal sejak masuk kelas 1 PGA 4 tahun Inderapura tahun 1968.
Awalnya berkawan biasa. Sampai di kelas 3 persahabatan kami semakin kental. Secara alamiah, jadilah kami teman satu geng (istilah kerennya), dengan anggota 5 orang. Tiga perempuan dua laki-laki.
Tono type cowok mudah senyum dan sangat menghargai kaum cewek. Bicaranya tenang tapi tegas dan tak pernah berkata kasar, dalam kondisi serius maupun sedang bergurau.
Kami terpisah karena melanjutkan pendidikan di jalur dan kota berbeda. Dan mengais rezki di negeri berbeda pula. Tono menjadi guru SMA di daerah Sumatera Barat, saya mengajar di Sekolah Dasar di tempat saya sekarang, Kabupaten Kerinci, Jambi.Terakhir dia berkunjung ke tempat saya tahun 1980. Bertepatan dengan 2 bulan saya habis melahirkan. Setelah itu kami tak pernah bertemu lagi.
Persahabatan kami seakan tenggelam. Tiada saling berkirim surat. Paling mendengar kabar tentang dirinya dari mulut ke mulut. Kondisi ini diperparah karena dia menikah dengan gadis pujaannya di luar daerah.
Februari lalu saya terpikir untuk mencarinya via facebook. Begitu kata kunci “sartono” dimasukkan ke kolom pencarian, nama dan fotonya langsung nongol.
Sayangnya tiada tanda-tanda dia sedang online. Malahan postingan terakhirnya 19 Februari 2021. Saat discrool ke bawah, tiba-tiba sinyal anjelok. Ya, sudah. Lain kali saja. Ujung-ujungnya lupa.
Awal Maret, saya dan suami dapat kabar bahwa Sartono telah tiada sejak dua bulan lalu. Saya dan suami hanya bisa mengucapkan Innalillah .... Apa hendak dikata, begitulah fakta yang tak dapat dibantah.
2. Nurilis bertubuh fresh dan padat berisi
Namanya Nurilis, biasa disapa Lis, yang notabene teman satu geng kami. Sama seperti Tono, saya dan Lis bertemu tahun 1968 di sekolah yang sama. Perkenalan saya dan dia terbilang unik.
Waktu itu sekolah kami tergolong miskin, karena baru mulai beroperasi. Setiap siswa diwajibkan membawa kursi untuk tempat duduk masing-masing. Seminggu pertama, saya belum punya, sebab belum diantar sama Bapak. Saya tak bisa bawa sendiri karena jarak sekolahan dari kediaman orang tua saya 12 kilometer PP ditempuh dengan jalan kaki.
Suatu ketika, ada siswa main volly ball di halaman sekolah. Saya ikut nonton. Capek berdiri, saya angkat sebuah kursi di ruang kelas terus membawanya keluar.
Tiba-tiba saya diteriaki oleh empunya. “Ngapain kamu ambil kursi saya? Tarok sana!” katanya bernada marah dan kesal. Dengan malu-malu saya taruh kembali kursi tersebut di tempat semula.
Setelah itu saya tahu, bahwa pemilik kursi tersebut namanya Nurilis. Saya tak ingat persis, proses terpatrinya keakraban kami hingga menjadi sahabat sejati yang setia.
Saking gilanya kami berteman, beberapa kali Lis datang ke tempat kami pakai sepeda ontel meniti jalan tanpa aspal 8 kilometer. Tujuannya mengajak saya nginap di rumahnya. Saya oke dan yes. Sebab, kalau bukan dia yang langsung datang, tak bakalan diizin sama Emak.
Setelah dewasa kami sama-sama terdampar di Kabupaten Kerinci. Dia diboyong suaminya sebagai pedagang kelontongan di kota Sungai Penuh. Saya di desanya, terpisah jarak 15 kilometer.
Di sini saya yang sering mampir. Sebab, selain sibuk dengan dagangannya, Lis tak bisa pakai motor. Suaminya telah tiada sejak tahun 1999.
Kami tetap bersahabat karib sampai nenek-nenek. Belum pernah saling merajuk, apalagi tak bertegur sapa. Sekali berjumpa curhatnya panjang kali lebar. Peristiwa marah gara-gara kursi pun tak luput dia ungkit beberapa kali sambil tertawa ngekeh.
Tanggal 18 Maret lalu putri saya berkabar, bahwa Mama Lis meninggal. Saya kaget bercampur sedih dan sangat merasa kehilangan. Seingat saya nenek 10 cucu itu tak pernah mengeluh tentang kesehatannya. Tubuhnya fresh padat berisi.
Pantasan, 6 bulan belakangan tokonya selalu tutup. Ditelpon, sesekali masuk, kemudian putus. Terakhir dikasih tahu oleh anaknya bahwa HP-nya agak bermasalah.
Rupanya terakhir Lis ngumpul bersama anak dan menantunya yang bertugas di Muara Bulian (luar Kerinci/Sungai Penuh). Dari sana dia berangkat Umrah, di sana pula dia berpulang. Kata anak-anaknya, mamanya pergi karena batuk berlanjut sesak nafas yang dia bawa dari Mekah.
3. Kamijas yang penurut
Seperti Tono dan Lis, Kamijas juga rekan satu sekolahku. Tetapi cewek penurut biasa disapa Jas ini 2 tahun di bawah saya. Kebetulan, saya, dia, dan 3 teman lainnya pernah satu kost di Kota Sungai Penuh. Saat itu dia les menjahit, kami berempat di sekolah formal.
Di masa-masa kebersamaan tersebut kami sering bertukar cerita tentang keluarga masing-masing. Katanya dia punya saudara laki-laki sedang bersekolah di Jakarta.
Kabar tersebut saya jadikan bahan candaan. “Ntar Uwo-mu buat saya ya.” (Uwo = sapaan untuk kakak tertua).
Dia menjawab seadanya, “Boleh. Kalau memang jodoh tiada kuasa yang bisa melarang.”
Beberapa bulan setelah saya lulus sekolah, si Uwo tadi datang ke desa saya. Tujuannya mengantarkan surat dari Jakarta, untuk nenek di belakang rumah kami.
Saat itu saya sedang menumbuk padi pakai alu dan lesung. Gara-gara dia nanya alamat terjadilah dialog antara aku dan dia, ahay .... Singkat cerita, perkenalan kami berlanjut di depan penghulu. Jas menjadi adik ipar saya.
Pertemanan saya dan Jas berakhir setelah dia menghembuskan nafas terakhir pada 29 Maret lalu, karena menderita tumor hati. Dia pergi meninggalkan 4 anak, 9 cucu.
Alhamdulillah, 3 tahun menjalin persahabatan biasa, 48 tahun sebagai adik dan kakak ipar, kami belum pernah bertingkah kata. Meskipun harus diakui, selaku manusia biasa mungkin ada yang tersinggung waktu naik, tergeser di waktu turun, tapi tiada tercetus menjadi api perselisihan. Cukup kami kubur dalam hati masing-masing saja.
Penutup
Dengen perginya Tono dan Lis, sampai hari ini rekan satu geng kami yang tersisa cuman saya. Teman sekelas pun yang tinggal bisa dihitung dengan jari. Subhanallah. Entah kapan pula saya dijemput.
Demikian kisah ini ditulis sekadar untuk bernostalgia sekaligus ungkapan rasa duka yang mendalam atas kepergian 3 sahabatku tercinta. Terima kasih. Istirahatlah yang tenang sahabatku tersayang. Semoga kalian bahagia di syurgaNya. Amin.
Baca juga:
- 10 Cara Mudah Atasi Kantuk Saat Tarawih Agar Fokus dan Khusuk
- Jangan Lewatkan! Kisah Perburuan Rumah Impian
- Nostalgia di Desa Cupak. Bicara Pakai Trik Iyo-Iyo
Penulis, Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
*****
Terharu bund bacanya...dari persahabatan...menghilang karena uzur tiba...namanya umur kita ga pernah tau ya bund..itu rahasia Ilahi
BalasHapusSepakat ananda. Entah kapan kita menyusul. Terima kasih telah singgah. Selamat siang.
Hapusbetul sekali
HapusHidup ini semakin hari, harus siap dengan perpisahan ya
BalasHapusMakanya saya hidup, tak mau ngoyo lagi
waktunya kerja ya kerja, waktunya istirahat ya istirahat, waktunya main ya main
saya juga begitu, teman lama, satu demi satu telah mendahului
Sependapat, ananda. Dan yang paling penting, jangan mau diperbudak dunia dan dikuasai stress.
HapusHidup dibuat santai ya, walau stres kadang melanda hehe
HapusTemplate keren, loading mak wuzzz
Sedih juga ya kehilangan teman yang setia
BalasHapusSedih banget, Mbak Tira. Dan bertambah sedih melihat suaminya (adik ipar) ditinggalkannya dalam kondisi sakit. Sendirian pula. Karena anak2 mereka sudah punya kehidupan masing2
HapusSemoga bunda selalu diberkahi kesehatan dan umur panjang yaaa 🤗. Terharu bacanya.. pasti sedih kalo 1 per 1 temen bahkan sahabat kita berpulang. Sebisa mungkin kalo memang masih bisa berhubungan, tetep jaga silaturrahmi , masih saling tanya kabar . jadi setidaknya kalo terjadi sesuatu, ga ada penyesalan lagi. Semoga semua sahabat bunda diampuni segala kesalahan dan dilapangkan kuburnya ya bunda ..
BalasHapusAmin. Terima kasih doanya, ananda Fanny. Paling bisa berhubungan sama anak2nya. Susahnya mereka dan bunda semuanya berjauhan. Dan meteka sibuk dengan urusan masing2.
HapusKehilangan sahabat emang paling menyakitkan ya. Soalnya aku juga pernah kehilangan sahabat di usianya yang masih terbilang muda. Emang umur nggak ada yang tahu.
BalasHapusBanget, Mbak. Yang membuat saya sedih waktu lewat di depan rumahnya (Lis) pintu tertutup. Anak2nya di luar kota semua.
Hapusjadi sedih bu nur bacanya
BalasHapusSedih banget, Mas Rezky. Tetapi mengingatkan diri kapan saya menyusul.
HapusSalam jumpa dan salam perkenalan Mbak Nur.
BalasHapusSaya merasakan juga kehilangan sahabat ini Mbak. Ini saya alami waktu ganas-ganasnya covid melanda. Teman kuliah 3 orang meninggal, teman SMA 1 orang meninggal dan 1 orang tetangga teman ngobrol santai meninggal. Benar-benar merasa kehilangan.
Sehat selalu disana ya Mbak.
Salam persahabatan dari saya di Sukabumi
Salam lenal juga, Mas Titik Asa. Salam persahabatan dai Kerinci, Jambi. Subhanallah. Saya juga kebagian covid-nya juli 2020. Tetapi tidak terlalu parah. Bila dibayangkan saat itu ngeri juga. Terima kasih doanya, tetima kasih juga telah singgah. Selamat sore
HapusLuar biasa.... persahabatan sampai akhir hayat...
BalasHapusInspiratif..... thank you for sharing
Terima kasih kembali, Mas Tanza. Salam Ramadhan dari tanah air
HapusSehat selalu dan panjang umur untuk nenek Nur 🤗
BalasHapusAmin, terima kasih apresiasinya, ananda Dinni
Hapus