Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjelajahi Tradisi di 5 Media Sosial

 

Banyak orang memilih media sosial sebagai teman curhat. Termasuk saya. Dikit-dikit ngeblog, dikit-dikit nyetatus. 

Tak tahu entah alasannya apa. Yang jelas sekarang zaman terbuka. Orang bebas menulis apa saja. Karena medsos hadir memang untuk itu.  Selagi tidak melanggar aturan main yang telah disepakati, itu syah-syah saja.

Buka-bukaan di medsos tak masalah. Tetapi bukan berarti telanjang dan  bebas tanpa batas.  Seperti  pornografi, menyebar hoak, mengumbar kebencian dan lain sebagainya. 

Saya telah melanglang buana setidaknya di 5 medsos. Di sini saya mendapat banyak perbandingan. Rupanya dunia maya itu nyaris sama seperti dunia nyata. Penghuninya punya tradisi masing-masing. 

Jika satu daerah penduduknya ramah menyapa,  mungkin daerah lain masyarakatnya cuek. Begitu juga klien medsos. Kultur warga bloggers  belum tentu sama dengan pengguna facebook,  pemakai instagram, twitter, Tiktok, dan medsos lainnya. 

Sekakadar gambaran, berikut saya ingin  beropini tentang apa yang saya temui di 5  medsos yang pernah saya gunakan. 

1. Blog.   

Warga blog didominasi kaula muda. Bukan berarti tidak ada golongan tua,  tapi mungkin jumlahnya tidak banyak. Blog tempat berhimpunnya manusia kreatif dan cerdas. Kecuali saya yang tergagap-gagap. Terutama gagap teknologi. 

Mereka berasal dari  berbagai suku, agama, dari Sabang sampai Meraoke, bahkan dari belahan bumi lain. Ramah menyapa, saling kunjung, saling respek, saling memotivasi dan penuh persahabatan, walaupun mereka tidak kenal mengenal di dunia nyata. Begitu kesan tak terlupakan bagi saya selama 3 tahun nebeng dalam wadah yang satu ini.

Tidak hanya itu, para narablog  konsisten dengan tradisi ketimuran. Perbedaan pendapat pasti ada. Tidak merebak menjadi konflik, yang berujung hujat-menghujat  dan saling maki. 

Jika ada masalah yang tidak terpecahkan, dimusyawarahkan dalam  grup. Minimal diskusi di kolom komentar.  Si pintar membimbing si lemah, saling asah, asih asuh dalam menyelesaikan masalah untuk menemukan sulusi. 

Enaknya lagi, di blog tumbuh subur tradisi tabur tuai. Setelah blognya dikunjungi (Block wolking), tanpa  diminta pemilik akun siap berkunjung balik. Yang penting si tamu meninggakan jejak.  

2. Facebook. 

Sama seperti blog, warga Fasebook juga terdari dari berbagai suku, agama, dan golongan dengan  karakter dan ststus sosial beragam. Ada yang biasa-biasa  saja. Ada juga yang ramah, yang suka berbagi ilmu,  senang menjalin persahabatan. Yang punya hobi narsis dan pamer juga ikut meramaikan platform merakyat dan metropolis ini. 

Sesekali, di Facebook juga ada keributan. Berawal dari masalah sepele, misalnya status dan komentar  sensitif, yang berujung debat kurang sehat. Tak jarang endingnya di dunia nyata ditangani polisi. Berujung maut juga pernah.

3. Instagram. 

Sebelas dua belas dengan pengguna Facebook. Konsumen Instagram juga dari berbagai kalangan. Yang sedikit berbeda,  selain orang biasa,  kaum elet dan pejabat juga senang nongkrong di sini. Termasuk Presiden Jokowi dan Ibu Iriana.

Seingat saya, awalnya konten-konten di  Instagram kebanyakan berupa  foto yang dibarengi caption. Lama-lama  diramaikan oleh iklan yang melimpah ruah. Kini, dengan adanya fitur-fitur tambahan Instagram semakin kreatif dan variatif. 

Selama saya bergabung di instagram, hampir tidak menemui status yang sifatnya  ngajak berantem atau saling serang.  Kecuali orang-orang tertentu, dari kelas-kelas tertentu. Orang biasa seperti kita-kita, adam ayem saja. 

Cuman di Instagram hukum tabur tuai kurang berlaku. Setelah postingannya disinggahi, dan  ditinggali jejak, alih-alih dapat kunjungan balik,  dilike saja komen kita tidak. 

4. Twitter: 

Saya punya akun twitter, tapi pengguna pasif. Pernah nyoba aktif kurang lebih satu bulan.  Saya berpikir twitter bukan dunia saya. Penggunanya banyak orang penting dan pintar di negeri ini. Tapi mereka suka berantam.  Akhirnya twitter hanya saya jadikan wadah ngeshare artikel dari blog. 

Naasnya, Sejak Januari 2024, akun twitter saya tak bisa dibuka lagi. Tak tahu apakah kini situasi di sana  sudah berubah atau masih dijadikan wahana adu pintar atau adu gagasan positif/negatif. Allahu alam bish shawab.

5.    WhatsApp  (WA):  

Karena WhatsApp adalah media tertututup, baik perorangan maupun grup, maka sulit untuk menilai gonjang-ganjing yang terjadi di dalam kelompok penggunanya. 

Namun, WA ini seperti pisau bermata dua. Tergantung konsumennya. Mau dibawa ke arah negatif atau positif. 

Mirisnya, WA sering dijadikan sarana untuk melakukan kejahatan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. 

Penutup

Terakhir mohon maaf, ulasan ini hanya opini pribadi. Mungkin menurut kalian beda lagi. Silakan berkomentar, karena perbedaan itu adalah rahmat bukan laknat. Sekian dan terima kasih. 

 Baca juga:  

*****
Sumber Ilustrasi: Dokumentasi Pribadi


Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
Kerinci, Jambi







10 komentar untuk "Menjelajahi Tradisi di 5 Media Sosial"

  1. twitter sih yang paling ngeri bu kalau menurut saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sependapat, ananda. Saya juga berpikir begitu! Akhirnya saya menjauh dari Twitter. Sampai sekarang tak pernah dijenguk lagi. Terima kasih telah singgah. Maaf telat merespon, karena sesuatu dan lain hal, celotehnur54 pun udah lama tidak ada postingan baru.

      Hapus
  2. saya masih sangat sering pakai twitter atau yang sekarang namanya x

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe... Manusia itu penyuka konflik, terutama anak muda. Hal tersebut banyak di Twitter. Makin banyak konflik, makin seru.

      Hapus
  3. Kalau saya saat ini mainnya di blog, Facebook, dan WA. Sedangkan di IG dan Twitter sudah tidak lagi, karena hapenya jadi lambat, hehe. Kalau di YouTube masih karena pake komputer. Intinya terus menjalin silaturahmi ya via media apa saja. Salam dari Jogja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam juga dari Kerinci, Mas Muhaimin. Saya sekarang lagi ngambang. Hehe... Di blog pun mulai lelet. Baru-baru ini asik di tiktok. Eh... Hp sering bermasalah. Sampai sekarang udah mulai kurang surut. Maaf telat merespon.

      Hapus
  4. Beneeeer banget bundaaaa 😄😄😄👍. Yg paling adem itu msh blog kok. Makanya sampe skr aku msh betah. Walopun udh banyak blogger yg pensiun, tp rasanya aku masih semangat utk trus menulis di blog. Terlebih lagi pengguna blog asyik2, kalem, diajak ketemuan juga ramaaah.

    Kalo fb aku ga terlalu suka walo msh aktif. iG juga sama, krn banyaaak iklannya itu yg bikin males.

    Trus banyak orang2 yg aku ga kenal, eh kok malah nongol di feed.

    Twitter atau X udh lama aku tinggalin. Ga nyaman di sana 🤣. Tiktok apalagi.. Memang bukan buatku. Terlalu ramai, dan layoutnya bikin puyeng 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di tiktok malah lebih parah, ananda. Memang tak banyak iklan, tapi orangnya kurang respek seperti kaum blogger. Kurang lebih kaya di kota metropolitan. Siapa lu siapa gua. Terlebih tiktoker senior, yang followernya puluhan ribu. Tiada rasa persahabatan, puluhan kali pun vt nya dilike tak berlaku hukum tanam tuai.

      Hapus
  5. blog masih betah aktif disana aku, semoga makin rajin hehehe
    terus awal muncul tiktok, aku mikir, ini sosmed apaan, iseng bikin akun, awal-awal isinya ga jelas, kayak joget joget, kan males
    ternyata ada akun yang share ilmu juga di tiktok

    facebook sekarang lebih sering aku gunakan share artikel aja, jarang upload foto disana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Ainun. Masing-masing medsos punya kekurangan dan kelebihan, tinggal kita menyaring dan pilih mana yang paling sedikit mudharatnya. Terima kasih apresiasinya, Mbak Ainun. Maaf telat merespon

      Hapus