Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenang Momen-momen Indah Bersama Ibunda Tercinta

Uncategorized
Hari ini Sabtu 26 Oktober 2024  genap  15 tahun Ibunda  tercinta pergi untuk selamanya. Beliau  berpulang dalam usia 72 tahun, meninggalkan  kami 6 bersaudara. Alhamdulillah sekarang jumlahnya  masih utuh,  plus  28 cucu, 4 cicit.

Sampai tulisan ini diunggah, saya tak mampu lagi menghitung berapa jumlah cucu dan cicit beliau sekarang. Sebab kami  telah terpencar di beberapa kota dan daerah, tak pernah ngumpul  bareng sekaligus. Prediksi saya tak kurang dari 50 orang.

Ibu adalah pohon kehidupanku

Ibu adalah  segalanya bagiku.  Ibu adalah pohon dalam hidupaku. Tanpa beliau diriku tiada apa-apa. Sembilan tahun beliau berstatus single parrent, membesarkan aku dengan segala keterbatasannya, tanpa bantuan siapa-siapa.

Sementara ayah kandungku punya kehidupan sendiri dengan istrinya yang lain. Meninggalkan ibuku dan aku saat 3 bulan dalam kandungan, dan tak pernah kembali lagi. Jangankan biaya hidup, sekadar kepeduliannya  saja hampir tak pernah kucicipi, hingga aku dewasa dan berumah tangga.

Kenikah muda

Ibuku korban perkawinan anak. Beliau nikah usia 14 tahun. Menstruasi pertama  setelah berumah tangga. Hanya dapat satu kali kemudian langsung hamil, terus melahirkan aku waktu dia berumur 15 tahun. Beliau didewasakan oleh keadaan.

Bandingkan dengan gadis zaman sekarang, 15 tahun mereka tahu apa. Selain makan, minta jajan dan pulsa. Pakaian tinggal sorong, makan dan minum tinggal nyuap, beli ini itu tinggal bilang, seminim apapun ekonomi orang tuanyaMereka dimanjakan oleh zaman.

Single parrent

Sembilan tahun menjanda Ibuku bekerja banting tulang demi aku. Melakukan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Pernah memburuh ke kebun dan sawah orang. Untungnya beliau punya bakat dagang.  Meskipun  pendidikannya  cuman 3 bulan kelas 1 Sekolah Rakyat (setingkat SD).

Aku tak ingat persis kapan Ibuku menekuni profesinya sebagai pedagang kecil,  berjualan dari pekan ke pekan (pasar tradisional).  Yang aku tahu, aktivitasnya 3 kali seminggu di 3 pasar berbeda. Perginya   bawa ikan salai (ikan asap) dan lokan (kerang air tawar). Pulang bawa beras atau apa saja yang sesuai dengan kebutuhan  pasar berikutnya.

Tidak jarang beliau dan teman pedagangnya jalan kaki dari dan  ke pasar yang mereka tuju,  dengan beban semampunya  di kepala. Maklum, zaman itu mobil termasuk kendaraan langka. Tetapi barang yang berat  seumpama beras dan lokan dikirim lewat pedati ( gerobak  sapi).

Bahagia tapi egois

Terlepas dari apakah ibuku merasa lelah dengan kehidupannya saat itu atau tidak, aku  bahagia mempunyai Emak yang sangat menyayangiku. Aku bangga menjadi anak tunggal. Apa yang kuminta,  jarang ibuku  menolak.

Setelah naik kelas dua, aku tumbuh menjadi anak manja dan egois. Setiap Sabtu hari pekan kapungku, tugasku menagih utang pada pelanggan.  Semua hasilnya jadi milikku, dengan syarat, uangnya harus  ditabung  dan aku tak boleh ikut ibu pergi ke Pasar Tapan, yang jaraknya 25 kilometer dari kediaman kami. Sekali kunjungan  butuh waktu 3 hari. Kalau aku ikutan, otomatis sekolahku terganggu.

Dikunci di kamar

Sayangnya  sesekali aku nekat melanggar persyaratan ke dua yang diajukan Emak. walaupun utang piutang aku yang tagih, aku tetap ngotot mau ikut ibuku ke Pasar Tapan. Kadang-kadang   ketika  beliau berangkat, aku melepasnnya dengan khusuk. Belum 15 menit  beliau meninggalkan rumah, pikiranku berubah. Aku menangis  dan berteriak kencang sambil berlari membuntuti ibuku, “Emaaak ....! Ikuuut ....!

Karena diriku susah diajak berdamai, pernah ibuku habis kesabaran,  beliau marah besar.  Waktu itu  sekira 200 meter ibuku  beranjak, aku membuntuti sembari menangis.    Aku kesal level akut, beliau mampir di rumah kakak sepupunya terus mengunci diriku di kamar, lalu pergi. Aku tak ingat bagaimana aku dibebaskan. Yang pasti, tangisku sukses membuat suaraku parau.

Sampai  aku setua ini momen tersebut  tak pernah  kulupakan. Biarlah menjadi lembaran sejarah untuk melengkapi senandung hidupku.

Takut Kehilangan

Aku mulai bertingkah bukan tanpa alasan. Aku takut kehilangan ibuku. Aku takut beliau kawin lagi. Sebab, dua tahun belakangan ibuku pernah menikah dengan lelaki lain. Cuman bertahan beberapa bulan, mereka bercerai tanpa anak.

Sebenarnya sejak bercerai dengan ayah kandungku, ibuku sudah 3 kali menikah. Tapi dua sebelumnya aku tak ingat karena aku masih kecil. Kata ibuku perjdohan mereka  cuma di bawah   3 bulan.

Pernikahannya  yang  terakhir ini kiamat besar bagiku. Aku tak siap menerima kenyataan  ibuku dimiliki orang lain. Sedih, dan benci  membuncah jadi cemburu. Aku benci ibuku, aku benci suami barunya.  

 Andai ada yang bertanya, peristiwa apa yang paling pahit pernah saya alami, jawabnya ya, itu tadi.  Saat ibuku menikah lagi.

Bila kuingat masa-masa itu aku merasa bersalah kepada ibuku,  yang tak bisa ditebus dengan uang atau emas permata. 

Penutup

Syukur, tahun ke sembilan pasca ditinggal ayah kandungku, ibu menemui jodohnya yang ke lima. Aku capek sendiri. Meskipun ada pergolakan batin, tetapi  masih bisa kupendam.

Akhirnya aku menerima  takdirku, walaupun penuh kepura-puraan. Lama kelamaan  kepura-puraan menjadi menerima benaran. Hingga mereka memberikan aku 8 adik, yang kini tersisa 5. Sekian dan terima kasih. Semoga inspiratif.

*****

Baca juga:

Penulis,
Hj. NURSinI RAIS
di Kerinci, Jambi

14 komentar untuk "Mengenang Momen-momen Indah Bersama Ibunda Tercinta "

  1. Kisah bersama orang tua, khususnya ibu akan selalu dikenang
    saya kagum dengan semangatnya, sungguh luar biasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini hanya sebagian kecilnya yang ditulis ananda. Terima kasih apresiasinya. Selamat sore.

      Hapus
  2. Mbak, saya terharu membaca tulisan Mbak ini.
    Dari tulisan ini tergambar betapa pengorbanan seorang ibu demi anak-anak tercintanta. Seperti Mbak tulis, alm. ibu harus menjadi single parent dan berusaha dengan berdagang.

    Semoga ibu Mbak kini berbahagia disisiNYA...

    Salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, Mas Asa. Terima kasih doanya. Salam sehat selalu untuk keluarga di sana

      Hapus
  3. Lama-lama menjadi menerima beneran ya. Seiring berjalan waktu. Maka, benar dengan sebuah pendapat, berjalannya waktu adalah obat bagi hati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaallah, terima kasih Mas Muhaimin. Doa sehat untuk keluarga di sana.

      Hapus
  4. Baca tulisan mbak, saya jd kangen sm emak dan bapak... hiks.. 😢
    Mereka jg udh tiada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, Mas. Kadang kalau pulang kampung itu sedih melihat bekas tempat beliau biasa beraktivitas.

      Hapus
  5. Bunda, perjalanan hidup yang nano nano, tp menjadi manis saat diingat hari ini yaa 🤗. Aku pun susah bayangin di zaman dahulu anak perempuan dipaksa dewasa sebelum waktunya. Tp mereka benar2 berjuang kerja utk mencari nafkah anaknya. Saluuut. Semoga ibunya bunda ditempatkan dalam golongan Orang2 beriman, diterangi selalu kuburnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, terima kasih doanya ya ananda. Do'a sehat juga untuk mu sekeluarga

      Hapus
  6. Inpiratif bgt bu ceritanya.Perjuangan seorang ibu yg gak main2...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, di akhir hidup beliau semuanya baik2 saja

      Hapus
  7. satu cerita yang agak tragis dan penuh emosi...apa-apapun perkara sudah berlalu dan jadi kenangan semata-mata

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa lalu adalah kenangan ya, masa datang adalah harapan. 😁😁

      Hapus