Mengenang Momen-momen Indah Bersama Ibunda Tercinta
Sampai tulisan ini diunggah, saya tak mampu lagi menghitung berapa jumlah cucu dan cicit beliau sekarang. Sebab kami telah terpencar di beberapa kota dan daerah, tak pernah ngumpul bareng sekaligus. Prediksi saya tak kurang dari 50 orang.
Ibu adalah pohon kehidupanku
Ibu adalah segalanya bagiku. Ibu adalah pohon dalam hidupaku. Tanpa beliau diriku tiada apa-apa. Sembilan tahun beliau berstatus single parrent, membesarkan aku dengan segala keterbatasannya, tanpa bantuan siapa-siapa.
Sementara ayah kandungku punya kehidupan sendiri dengan istrinya yang lain. Meninggalkan ibuku dan aku saat 3 bulan dalam kandungan, dan tak pernah kembali lagi. Jangankan biaya hidup, sekadar kepeduliannya saja hampir tak pernah kucicipi, hingga aku dewasa dan berumah tangga.
Kenikah muda
Ibuku korban perkawinan anak. Beliau nikah usia 14 tahun. Menstruasi pertama setelah berumah tangga. Hanya dapat satu kali kemudian langsung hamil, terus melahirkan aku waktu dia berumur 15 tahun. Beliau didewasakan oleh keadaan.
Bandingkan dengan gadis zaman sekarang, 15 tahun mereka tahu apa. Selain makan, minta jajan dan pulsa. Pakaian tinggal sorong, makan dan minum tinggal nyuap, beli ini itu tinggal bilang, seminim apapun ekonomi orang tuanya. Mereka dimanjakan oleh zaman.
Single parrent
Sembilan tahun menjanda Ibuku bekerja banting tulang demi aku. Melakukan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Pernah memburuh ke kebun dan sawah orang. Untungnya beliau punya bakat dagang. Meskipun pendidikannya cuman 3 bulan kelas 1 Sekolah Rakyat (setingkat SD).
Aku tak ingat persis kapan Ibuku menekuni profesinya sebagai pedagang kecil, berjualan dari pekan ke pekan (pasar tradisional). Yang aku tahu, aktivitasnya 3 kali seminggu di 3 pasar berbeda. Perginya bawa ikan salai (ikan asap) dan lokan (kerang air tawar). Pulang bawa beras atau apa saja yang sesuai dengan kebutuhan pasar berikutnya.
Tidak jarang beliau dan teman pedagangnya jalan kaki dari dan ke pasar yang mereka tuju, dengan beban semampunya di kepala. Maklum, zaman itu mobil termasuk kendaraan langka. Tetapi barang yang berat seumpama beras dan lokan dikirim lewat pedati ( gerobak sapi).
Bahagia tapi egois
Terlepas dari apakah ibuku merasa lelah dengan kehidupannya saat itu atau tidak, aku bahagia mempunyai Emak yang sangat menyayangiku. Aku bangga menjadi anak tunggal. Apa yang kuminta, jarang ibuku menolak.
Setelah
naik kelas dua, aku tumbuh menjadi anak manja dan egois. Setiap Sabtu hari
pekan kapungku, tugasku menagih utang pada pelanggan. Semua hasilnya jadi milikku, dengan syarat,
uangnya harus ditabung dan aku tak boleh ikut ibu pergi ke Pasar
Tapan, yang jaraknya 25 kilometer dari kediaman kami. Sekali kunjungan butuh waktu 3 hari. Kalau aku ikutan, otomatis
sekolahku terganggu.
Dikunci di kamar
Sayangnya sesekali aku nekat melanggar persyaratan ke dua yang diajukan Emak. walaupun utang piutang aku yang tagih, aku tetap ngotot mau ikut ibuku ke Pasar Tapan. Kadang-kadang ketika beliau berangkat, aku melepasnnya dengan khusuk. Belum 15 menit beliau meninggalkan rumah, pikiranku berubah. Aku menangis dan berteriak kencang sambil berlari membuntuti ibuku, “Emaaak ....! Ikuuut ....!
Karena diriku susah diajak berdamai, pernah ibuku habis kesabaran, beliau marah besar. Waktu itu sekira 200 meter ibuku beranjak, aku membuntuti sembari menangis. Aku kesal level akut, beliau mampir di rumah kakak sepupunya terus mengunci diriku di kamar, lalu pergi. Aku tak ingat bagaimana aku dibebaskan. Yang pasti, tangisku sukses membuat suaraku parau.
Sampai aku setua ini momen tersebut tak pernah kulupakan. Biarlah menjadi lembaran sejarah untuk melengkapi senandung hidupku.
Takut Kehilangan
Aku mulai bertingkah bukan tanpa alasan. Aku takut kehilangan ibuku. Aku takut beliau kawin lagi. Sebab, dua tahun belakangan ibuku pernah menikah dengan lelaki lain. Cuman bertahan beberapa bulan, mereka bercerai tanpa anak.
Sebenarnya sejak bercerai dengan ayah kandungku, ibuku sudah 3 kali menikah. Tapi dua sebelumnya aku tak ingat karena aku masih kecil. Kata ibuku perjdohan mereka cuma di bawah 3 bulan.
Pernikahannya yang terakhir ini kiamat besar bagiku. Aku tak siap menerima kenyataan ibuku dimiliki orang lain. Sedih, dan benci membuncah jadi cemburu. Aku benci ibuku, aku benci suami barunya.
Andai ada yang bertanya, peristiwa apa yang paling pahit pernah saya alami, jawabnya ya, itu tadi. Saat ibuku menikah lagi.
Bila kuingat masa-masa itu aku merasa bersalah kepada ibuku, yang tak bisa ditebus dengan uang atau emas permata.
Penutup
Syukur, tahun ke sembilan pasca ditinggal ayah kandungku, ibu menemui jodohnya yang ke lima. Aku capek sendiri. Meskipun ada pergolakan batin, tetapi masih bisa kupendam.
Akhirnya aku menerima takdirku, walaupun penuh kepura-puraan. Lama kelamaan kepura-puraan menjadi menerima benaran. Hingga mereka memberikan aku 8 adik, yang kini tersisa 5. Sekian dan terima kasih. Semoga inspiratif.
*****
Baca juga:
- Berkonflik dengan Anak? Hidari Sumpah Serapah
- Curhat: Sulit Melupakan Kesalahan Orang Lain, Apakah Saya Pendendam?
- Saat Membangun Rumah, Jangan Menabung Masalah
Penulis,
Hj. NURSinI RAIS
di Kerinci, Jambi
Posting Komentar untuk "Mengenang Momen-momen Indah Bersama Ibunda Tercinta "