Gara-gara Kacang Rebus
Saya menolak. Karena barang tersebut satu-satunya warisan dari almarhum Emak, yang saya bawa merantau.
Tiga tahun didiamkan
Saya lega. Ini alaram, bahwa Neng sudah berpikir jernih. Marahnya sudah hilang. Setelah kurang lebih 3 tahun dia mendiamkan saya. Disapa, jangankan menjawab, dari jauh dia membuang muka. Padahal saya dan dia tetanggaan. Jarak kediaman saya dan dia kurang lebih 100 meter.
Meskipun saya seumuran neneknya, saya telah berusaha menegurnya beberapa kali. Namun, perempuan 50 tahun itu belum membuka pintu hatinya untuk berdamai dengan egonya.
Bagi saya, musuhan dengan tetangga itu neraka. Siapapun mereka, dari suku manapun mereka, dan bagaimanapun status sosial mereka. Sedapat mungkin, jangan sampai ada rasa saling benci.
Tak perlu baiknya kayak saudara, semakan seminum, sedapur sesumur. Yang penting tiada dendam dan sakit hati. Itu saja sudah cukup.
Awal konflik bermula
Konflik ini bermula dari masalah sepele. Tiga tahun yang lalu, ibu 4 anak itu jualan kacang rebus di pinggir jalan raya, lintasan Sungai Penuh-Bangko. Tak jauh dari rumah saya. Tepatnya di luar pagar SD/SMP desa kami.
Dagangannya laris manis. Sebab, selain harganya standar, kacang rebus yang dia jual dalam kondisi hangat, karena seharian standbay di tungku penjerangan.
Dua minggu Neng berjualan kacang rebus, saya sudah dua kali membelinya. Sayangnya, dua kali pula ketemu kacangnya kurang bagus. Banyak yang masih muda dan sebagian isinya hitam. Kadang-kadang, dalam satu polong kacang isi dua atau tiga butir, cuman sebiji yang layak makan. Bahkan ada juga yang gagal semua.
Ya, sudah. Saya berpikir, mungkin Si Neng dan suaminya belum berpengalaman membeli kacang mentahnya. Atau memang ulat tanah lagi musim lapar. Sehingga semua kacang tanah petani jadi busuk begini.
Penjual kacang ternak di Pasar Pagi
Tiga hari usai belanja kacang rebus ke Neng, di pasar pagi saya ketemu tukang kacang rebus lain. Meskipun belum nyicip, saya pastikan kacangnya jauh lebih bagus daripada dagangan Neng. Hal ini terlihat dari butirnya super montok kulitnya mulus.
“Ini kacang ternak sendiri, dijamin bagus. Kalau banyak yang rusak, balikkan ke saya, uang ibu saya kembalikan,” kata Emak-emak setengah lansia tersebut.
“Iyo. Kemarin saya beli kacang rebus Neng, banyak yang busuk. Mungkin dia belum berpengalaman membeli kacang mentah,” balas saya.
“Benar, saya juga pernah beli. Jelek banget. Kurang dari lima puluh persen yang layak makan,” sambar ibu muda di samping saya, yang notabene tetanggga saya juga.
Seminggu kemudian, tak disangka-sangka, saya dikirimi duit lima ribu melalui L si tetangga sebelah. Katanya disuruh Neng. “Kemarin Ibu beli kacang ke dia banyak yang busak.”
“Eh ..., tak masalah. Saya ikhlas. Kembalikan duit itu ke Neng. Andai dia menolak, kasih untuk anakmu saja.” L pergi. Sampai saat ini udah mendekati tahun ke 4, saya tak pernah nanya duit lima ribu itu mengalirnya ke mana. L pun tiada melapor apakah uang tersebut diterima oleh Neng atau tidak.
Rupanya ada yang membertahukan Neng kalau saya bilang kacang rebusnya kurang bagus (bukan jelek).
Bagi saya tidak masalah, siapapun pembawa kabar tersebut untuk Neng saya tidak marah. Mudah-mudahan Neng bisa belajar dari ketidakmengertiannya bagaimana cara memilih kacang mentah yang bagus dan layak jual. Soal dia merajuk, terserah dia. Ntar rajuknya juga hilang.
Buktinya, tahun ke tiga Neng nelepon saya, meskipun ada perlunya, yaitu menanyakan masalah mesin jahit yang katanya buat anak gadisnya yang sedang belajar menjahit. Ini adalah tanda sakit hatinya gara-gara lidah saya sudah pupus. Tak lama lagi puasa tiba. Hati saya lega.
Jumpa di lapak kacang rebus
Habis lebaran 2024 kemarin, saya ketemu Neng di warung kacang rebus lain. Tetangga saya juga. Neng belanja jagung rebus, saya beli kacang rebus. Saya hadiahi dia senyum termanis. “Beli jagung?” sapa saya.
Nyus .... Bro-boro menjawab sapaan saya, dia pergi membawa wajah cemberut penuh kejengkelan. Saya kira, setelah dia nelepon marahnya sudah hilang. Ternyata tidak. Ada amarah bersambung untuk episode selanjutnya.
Padahal profesi Neng menjadi pedagang kacang rebus dulu hanya bertahan kira-kira satu bulan. Habis itu gulung tikar. Marahnya ke saya bertahun-tahun. Sungguh di balik wajahnya yang cantik tersimpan dendam yang berkarat.
Saya tak habis pikir apa maunya anak muda itu. Okey. Dia jual saya beli. Prinsip anti musuhan dengan tetangga saya abaikan dulu. Saya sudah berusaha memperbaiki kondisi. Nampaknya belum manjur. Ya sudah.
Baca juga:
- Mengulik Fenomena Pegawai Negeri Sipil dan Rekrutmennya
- Tauran Antar Siswa Terulang lagi, Terulang Lagi
- Makna Gaya Hidup In De Kos Dahulu dan Kini
Posting Komentar untuk " Gara-gara Kacang Rebus "